Sarat tumbuh iles-iles sebagaimana melihat keberhasilan penanaman porang di Jawa Timur
dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pemilihan jenis untuk mengisi
tanaman bawah pada tegakan hutan, baik di hutan rakyat maupun di hutan jati.
Secara umum berdasarkan survey ke beberapa wilayah di Jawa Barat tanaman dibawah
tegakan tanaman kayu yang umum dibudidayakan antara lain; singkong, kapulaga, kacang
tanah, ganyong, cabe, pedes, jahe, laja dan tales. Pada dasarnya tanaman bawah
yang sudah dikembangkan tersebut juga telah memberikan manfaat yang besar,
untuk itu iles-iles dapat dijadikan sebagai alternatif pilihan yang memperkaya
jenis tanaman bawah yang dapat dikembangkan di Jawa Barat.
Tanaman
iles-iles di Jawa Barat berdasarkan penelusuran referensi dan survey ke
beberapa lokasi belum didapatkan budidaya dalam skala yang luas, baik dibawah
tegakan hutan rakyat maupun dibawah tegakan pada kawasan hutan tanaman melalui
program PHBM. Budidaya iles-iles yang telah sukses dari segi ekonomi di Jawa
Timur mungkin saja bisa diterapkan di Jawa Barat karena tanaman porang terdapat
dimana-mana, baik hutan yang dikelola Perhutani maupun hutan rakyat, hanya
belum dikenal dan dimanfaatkan secara baik dan benar (Romli, 2002). Lebih
lanjut Romli, (2002) menyatakan bahwa porang alias iles-iles alias ileus
mungkin akan menjadi primadona, bukan hanya di Desa Klangon, Kec. Saradan,
Kab.Madiun, Jawa Timur tetapi juga di desa-desa hutan Jawa. Apalagi tanaman iles-iles
menyediakan benih pembiakan sendiri. Berupa bubil atau matak yang
tumbuh pada setiap tangkai daun. Pada saatnya jatuh sendiri ke tanah untuk
menumbuhkan tanaman baru. Atau dipetik dan disemaikan oleh petani yang ingin
memperbanyak tanaman iles-ilesnya. Iles-iles/porang sangat mungkin dikembangkan
di Jawa Barat karena adanya berbagai faktor yang mendukung untuk pengembangan
iles-iles.
1. Luas hutan rakyat
Berdasarkan
hasil wawancara terhadap petani pengumpul umbi iles-iles di Kab. Kuningan pada
tahun 2009, diperoleh informasi bahwa porang dapat tumbuh dibawah tegakan dengan
berbagai jenis tanaman. Untuk
itu potensi hutan rakyat di Jawa Barat sangat mendukung terhadap pengembangan
tanaman iles-iles, seperti ditunjukkan pada tabel 2 berikut ini.
Tabel 2; Luas Hutan Rakyat di Jawa
Barat
No
|
Kabupaten
|
Luas HR
Th 2005
|
Luas HR
Th 2006
|
1.
|
Bogor
|
16.173,1
|
15.207,0
|
2.
|
Sukabumi
|
34.861,8
|
14.664,6
|
3.
|
Cianjur
|
15.747,4
|
163,9
|
4.
|
Karawang
|
257,0
|
3.149,0
|
5.
|
Bekasi
|
913,0
|
820,0
|
6.
|
Purwakarta
|
6.997,7
|
6.997,7
|
7.
|
Subang
|
8.065,0
|
10.885,0
|
8.
|
Bandung
|
13.018,0
|
17,258,0
|
9.
|
Garut
|
3.575,0
|
3.731,0
|
10.
|
Sumedang
|
14.338,7
|
14.338,1
|
11.
|
Majalengka
|
8.901,0
|
8.901,0
|
12.
|
Tasikmalaya
|
30.046,5
|
30.046,9
|
13.
|
Ciamis
|
28.945,5
|
23.806,4
|
14.
|
Cirebon
|
4.984,8
|
3.156,7
|
15.
|
Kuningan
|
15.446,9
|
15.446,9
|
16.
|
Indramayu
|
24.372,5
|
246,6
|
17.
|
Kota
Tasikmalaya
|
2.439,6
|
2.4399,6
|
18.
|
Kota Banjar
|
1.773,2
|
|
Jumlah
|
229.083,5
|
185.547,6
|
Sumber : Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat, 2006
Data terakhir
dari luasan hutan rakyat sebesar 185,547,63 ha dapat menghasilkan produksi kayu
sebesar 1.336.006,30 m3, dengan jenis kayu utama sengon, mahoni dan jati.. LMDH di Madiun dan Nganjuk telah
melaksanakan ujicoba pengembangan tanaman porang pada berbagai jenis tanaman
peneduh/pokok yang menghasilkan data bahwa iles-iles dapat tumbuh baik pada
tanaman jati dan sonobrit dan untuk tegakan mahoni tanaman iles-iles tidak
dapat tumbuh (gagal). Hutan rakyat dengan jenis tanaman utama mahoni tidak
dapat dijadikan sebagai sasaran lokasi untuk pengembangan tanaman iles-iles,
jelas bahwa porang potensial dikembanngkan di lahan hutan rakyat di Jawa Barat
karena jenis tanaman utamanya cocok yaitu sengon dan jati.
2. Luas Hutan Produksi Perum Perhutani.
Keberhasilan
pengembangan iles-iles di Kab. Madiun dan Nganjuk tidak terlepas dari
kontribusi Perum Perhutani. Tanaman iles-iles yang tumbuh di bawah tegakan Jati
di KPH Nganjuk merupakan implementasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
(PHBM), luasnya saat ini sekitar 750 hektar dan mulai dibudidayakan sejak 2003
(Anonim, 2007)
Wilayah Jawa Barat karena
berdasarkan SK. Menhut No. 195/Kpts-II/2003 kawasan hutan di Jawa Barat seluas
816.603 ha terdiri dari; a) hutan konservasi 132.180 ha, b) hutan lindung
291.306 ha, c) hutan produksi 202.965 ha, dan d) hutan produksi terbatas
190.152 ha (Suherman, 2009). Kondisi hutan ini dapat dimanfaatkan untuk
pengembagan porang dengan program PHBM, asalkan Perum Perhutani bersedia
mengembangkan jenis ini.
3. Budidaya Iles-iles Mudah
Berdasarkan
hasil wawancara terhadap kelompok tani yang telah melaksanakan uji coba
pengembangan iles-iles di Kab. Kuningan pada tahun 2009, menyatakan bahwa budidaya
iles-iles sangat mudah dan tidak memerlukan pemeliharaan secara khusus ditambah
lagi pengalaman bercocok tanam porang oleh LMDH Argomulyo menyatakan bahwa
penanaman iles-iles sangatlah menguntungkan, biaya penanaman dan pemeliharaan
mudah dan biaya relatif kecil, tanaman tidak manja dan dapat tumbuh pada lahan
yang kurang subur. Setiap batang tanaman hanya dipanen sekali tetapi anakannya
akan terus tumbuh melalui proses regenerasi yang mudah dan alami (Arifin, 2008).
Tanaman iles-iles bisa dipanen pada tahun kedua, setelah
umbi berukuran 10-20 cm. Pemanenan dilakukan ketika iles-iles sudah melewati
masa dorman (tidur) yang dicirikan dengan pohon tidak nampak, tapi jejak tanda
menjadi pemandu petani dalam memaneniles-iles.
4. Prospek Pasar Terbuka
4. Prospek Pasar Terbuka
Sejak tahun 2006 permintaan
umbi iles-iles/porang mulai berdatangan dari berbagai tempat termasuk dari PT
Ambico yang telah lama berkecimpung dalam pengelolaan bahan makanan dari bahan
iles-iles. Humas Perum
Perhutani Unit II Jatim, (2010), menyatakan bahwa permintaan pasar luar negeri
terhadap chips porang pada tahun 2007 ini sudah mencapai 104 ton. Permintaan
saat ini baru dari perusahaan di Hongkong. Ekspor perdana baru 12 ton dan
sisanya 12 ton lagi akan dikirim selanjutnya. Saat dipanen, porang yang berkadar
air 20 persen ini dihargai Rp1.500- Rp1.900 per kg dengan harga Rp1.500 per kg,
petani bisa mendulang penghasilan dari budidaya porang ini sebesar Rp12 juta
per hektar karena setiap hektar mampu menghasilkan panenan sebesar 8 ton (Anonim, 2010)
Setelah dirajang dan dijadikan
keripik, iles-iles/porang yang memiliki rendemen 23-25 persen dihargai Rp15.
000 per kg di pasar lokal dan dikirim
dalam bentuk keripik ke PT Ambiko di Sidoarjo, Perusahaan tersebut sejauh ini
juga memproses tepung porang untuk dijadikan makanan tahu dan mie yang kemudian
diekspor ke Jepang. (Satirun, 2009 dalam
Asep, 2010). Lebih lanjut Suparno, (2009) dalam
Asep, (2010) pada tahun 2007, harga
keripik itu di pasar ekspor mencapai US$1,1 dolar per kg. Tahun 2008, tepatnya
bulan Mei ketika LMDH berhasil mengirim 10 kontainer seberat 104 ton dari 210
ton keripik porang yang dipanen, harga ada pada kisaran US$1,5 per kg dengan
kurs olar Rp. 9.500, maka harga per container sekitar Rp100 juta.
Kontribusi KPH Saradan kepada
masyarakat petani hutan di Desa Klangon, tahun 2001 dari tanaman porang mencapai Rp 1,08 milyar, dari
jagung Rp 1,216 milar, dan dari tanaman tambahan lainnya, antara lain kunir,
jahe, kedawung, joho, temulawak, Rp 179 juta. Jumlah total Rp 2,4 milyar. Harga
jual porang berbentuk irisan kering, langsung dari petani, Rp 800/kg. Dari tiap
hektar, seorang petani anggota KTH, sekali panen pertiga bulan, mendapat Rp 6,4
juta. (Romli, 2002)