Ekosistem pengelolaan DAS
terdapat tiga komponen besar yaitu hujan sebagai input, DAS sebagai pemroses
dan air sebagai out put (Sukresno, 2004). Air sebagai output DAS di Kabupaten
Kuningan dialirkan melalui sungai besar dan kecil mencapai 43 buah.
Masyarakat pengguna air dapat dikelompokan
menjadi 2 yaitu; 1) masyarakat pengguna dalam satu wilayah kabupaten, yang
terbagi atas; a) masyarakat antar desa dalam satu kecamatan, b) Masyarakat
antar desa beda kecamatan dan 2) masyarakat pengguna antar wilayah kabupaten.
Adanya dua kelompok masyarakat pengguna air ini, akan memberikan kontribusi
yang berlainan untuk daerah hulu. Perbedaan ini disebabkan karena adanya
perbedaan peraturan serta penerapannya di lapangan, seperti diuraikan berikut
ini.
1. Kompensasi Antar Kabupaten
Saat ini potensi air yang
berasal dari daerah hulu yang berada di Kab. Kuningan selain dimanfaatkan oleh
masyarakat kuningan juga dimanfaatkan oleh masyarakat di daerah Cirebon dengan
berbagai peruntukan yaitu : a) Debit air untuk Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) Kabupaten Cirebon adalah 200 liter/detik, dan untuk PDAM Kota Cirebon
adalah 800 liter/detik, b) Suplai untuk pertamina Ciebon sebesar 50
liter/detik, c) Pabrik semen PT Indocement Cirebon disuplai air sebesar 36
liter/detik dan d) Suplai air untuk kegiatan pertanian, perkebunan tebu, dan
pabrik gula adalah 2.500 liter/detik (Ramdan, dkk. 2003). Masyarakat di
Kabupaten dan Kota Cirebon menggantungkan kebutuhan air yang menjadi kebutuhan
vitalnya sepenuhnya kepada aliran air yang berasal dari Kab. Kuningan.
Adanya aliran air ke daerah
Cirebon maka sebagai kompensasinya perusahaan pengguna air membayar sejumlah
uang ke Kab. Kuningan
seperti; kontribusi pendapatan dari PDAM Cirebon ke kas daerah Kab. Kuningan relatif kecil yaitu 120 juta rupiah/tahun
yang ditetapkan tanpa melalui perhitungan dan mekanisme alokasi sumberdaya yang
jelas, akibatnya margin keuntungan ekonomi Cirebon dari distribusi air ke
pelanggan jauh lebih besar dari pada Kab. Kuningan. Kelimpahan air di Kab.
Kuningan tidak mampu mengangkat pendapatan asli daerahnya sebagai konsekuensi
tidak diterapkannya mekanisme alokasi dan distribusi air yang baik (Ramdan,
dkk, 2003).
Namun lebih jauh diketahui
dari hasil wawancara dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan tahun 2009, bahwa
Kabupaten dan Kota Cirebon sebagai daerah pengguna sudah menyalurkan kompensasi
ke Kab. Kuningan sebesar Rp. 60,-/m3 yang mekanismenya terlebih dahulu disetor
ke propinsi. Kabupaten Kuningan sebagai daerah penghasil mendapatkan kompensasi
tersebut dari Propinsi yang dimasukan dalam APBD Kab. Kuningan. Disamping
kompensasi tersebut sudah dirintis oleh salah satu perusahaan di Kab. Cirebon
dengan menyumbang bibit secara gratis ke Kab. Kuningan yang secara teknis
pertimbangan lahan dan jenis tanaman berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kab. Kuningan.
2. Kompensasi Antar Desa Dalam Satu Kabupaten
Kompensasi antar desa dalam
wilayah administrasi kabupaten yang sama, terjadi karena potensi sumber daya
alam dan karakteristik wilayah yang berbeda. Karakteristik daerah hulu
dicirikan dengan topografi yang bergelombang, berbukit dan pegunungan, penutupan
lahan berupa hutan baik hutan negara maupun hutan rakyat, ini merupakan daerah
tangkapan air yang dialirkan dan dimanfaatkan oleh daerah hilir yang mempunyai
karateristik topografi datar, penutupan lahan bukan hutan dan lebih cenderung
tidak dapat menangkap air.
Pemerintahan desa dalam
konteks hubungan hulu hilir untuk menjaga keberlangsungan kontinuitas air
mempunyai kewenangan mempertahankan dan memperbaiki penutupan lahan berupa
hutan rakyat untuk daerah hulu karena hutan negara dalam hal pengelolaanya
menjadi kewenangan pemerintah melalui Departemen atau Badan Usaha Milik Negara.
Berdasarkan hasil wawancara
dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Kuningan sudah berjalan kelembagaan
yang spesifik di beberapa desa di Kab. Kuningan dalam mempertahankan dan
memperbaiki daerah tangkapan air yang berupa hutan rakyat diantaranya;
Kewenagan pemerintahan desa
dalam pengelolaan hutan rakyat ditunjukkan dengan diberlakukannya ijin dari
desa jika akan dilaksanakan penebangan. Penebangan tidak dapat dilaksanakan
secara sembarangan karena akan berpengaruh terhadap jasa lingkungan berupa
hasil air.
b. Desa Bangunjaya
Potensi hutan rakyat di Desa
Bangunjaya sudah menjadi hutan lindung permanen sehingga sebagai kompensasi
yang dibebankan ke daerah pengguna air berupa pembayaran Pajak Bumi dan
Bangunan.
c. Desa Seda
Hutan rakyat yang berbatasan
langsung dengan kawasan konservasi pemerintah desa memberikan arahan dalam hal
pemilihan jenis-jenis tanaman yang ditanam di hutan rakyat dengan jenis tanaman
lindung yang besar menyerap dan menyimpan air.
d. Desa Jamban
Kompensasi dari PDAM sudah
diberikan langsung ke pemerintahan desa sebagai daerah penghasil air.
e. Desa Trijaya dan Desa Seda
Wilayah Desa Trijaya dan Desa
Seda yang berkedudukan di hulu merupakan daerah tangkapan air dari mata air
Cigorowong. Air tersebut digunakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat di 3 desa
yaitu Desa Kertawinangun, Pancalang dan Tajurbuntu. Seiring dengan pelaksanaan
otonomi daerah pada tahun 2003/2004 Desa Seda dan Trijaya sebagai daerah
penghasil air berinisiatif menuntut adanya kompensasi dari 3 desa sebagai
pemanfaat air. Pada awalnya kompensasi diberlakukan bagi desa pemanfaat
membayar sebesar 400.000/th/desa. Kompensasi ini terus berkembang dan berjalan
sehingga pada tahun 2007/2008 bagi desa pemanfaat dikenakan kompensasi sebesar
500.000/th/desa yang dibebankan ke masing-masing desa pemanfaat.
Pemberlakuan kompensasi
tersebut berdampak pada daerah hilir dituntut adanya pengurus khusus yang
menangani air, secara materiil memerlukan banyak instalasi mulai dari saluran
permanen, meteran air dll dan bagi daerah hulu berkewajiban mempertahankan dan
meningkatkan kualitas penutupan lahan sebagai penyangga air.