Oleh :
Suyarno
Balai Penelitian Kehutanan Ciamis
ABSTRAK
Realisasi program penghijauan atau hutan rakyat
berdasarkan data statistik tahun 2003 seluas 1.789.700 ha. Total realisasi
tersebut jika dibandingkan dengan total dana yang dikeluarkan masih jauh
dibawah target, diduga terjadi kesalahan dalam pola pendekatan pengelolaannya
yang pada umumnya masih sebatas penyediaan bibit dan bimbingan teknis cara
penanaman dan pemeliharaan.
Berbagai kebijakan pemerintah sudah dilaksanakan
dalam pengelolaan/pembangunan hutan rakyat terutama terhadap aspek yang
berkaitan dengan potensi petani pemelik yaitu aspek kepemilikan lahan,
silvikultur dan pemasaran tetapi dalam aplikasinya belum menyeluruh
mengakomodir semua aspek tersebut mulai dari proses produksi sampai ke
pemasaran.
Aspek pemasaran sangat penting peranannya karena
tingkat pendapatan petani dapat terukur tetapi dalam pelaksanaannya petani
tidak bisa terlepas dari sistem borongan karena kurangnya pengetahuan tentang
penghitungan volume kayu dan adanya kebutuhan petani yang mendesak. Kondisi ini
belum diakomodir oleh suatu kebijakan guna menekan tingkat kerugian petani
pemilik lahan.
Kata kunci : Program penghijauan, potensi petani
dan kebijakan pemerintah
I. PENDAHULUAN
Kegiatan penanaman beberapa
jenis pohon di lahan milik atau lebih dikenal dengan hutan rakyat sudah
dilaksanakan sejak dahulu dan menurut
Darymple (1977) dalam Awang.
2002 bahwa hutan rakyat dengan pola tumpangsari sudah dilaksanakan di Indonesia
sejak tahun 1990. Kegiatan tersebut merupakan salah satu bagian dari program
pemerintah yang dimulai tahun 1956 dengan istilah “ Gerakan Karang Kitri
“, yaitu gerakan menanam pekarangan dan
lahan-lahan milik masyarakat berupa tanah kosong dengan jenis tanaman yang
bermanfaat. Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mempelopori kegiatan tersebut
sejak tahun 1974 dengan istilah “ Rakgantang” (Gerakan Gandrung Tatangkalan),
sedangkan pada Departemen Kehutanan
menyelenggarakan gerakan penghijauan dengan program sengonisasi yang dimulai tahun 1990.
Berdasarkan data statistik terakhir pada tahun 2003 menunjukan total realisasi
penanaman sekitar 1.789.700 ha atau rata-rata per tahun 51.100 ha (Mulyana Y.
2005). Pencapaian tersebut apabila dibandingkan dengan total dana yang telah
dikeluarkan masih jauh dibawah target bahkan pada kenyataannya banyak tanaman
dalam katagori gagal. Hal ini diduga disebabkan kesalahan dalam pola pendekatan
pengelolaan, sehingga setelah kegiatan berakhir petani kembali ke praktek
semula.
Program-program
penghijauan yang dilaksanakan pada umumnya hanya berorientasi sebatas
penyediaan bibit, bimbingan teknis penanaman dan pemeliharaan tanaman.
Pelaksanaan program yang tidak tuntas menyebabkan tujuan dari pembangunan model
hutan
rakyat tidak tercapai. Wijayanto (2006), menyatakan bahwa tujuan dari
pembangunan model usahatani hutan rakyat adalah untuk meningkatkan
produktivitas fisik per satuan luas lahan, mengoptimalkan lahan garapan,
memperbaiki kualitas lingkungan dan sumberdaya hutan, dan memaksimalkan
pendapatan usaha.
Peningkatan pendapatan
dari hutan rakyat belum dapat dicapai secara maksimal karena menghadapi
beberapa hambatan antara lain: (a) lemahnya penanganan paska panen,
termasuk pemasaran produksi hutan rakyat, (b) luas pemilikan lahan
masyarakat khususnya di Pulau Jawa relatif kecil, (c) kelembagaan usaha
hutan rakyat belum mantap, (d) keterbatasan modal masyarakat dalam
mengembangkan usaha hutan rakyat, (e) keterbatasan masyarakat tentang
pengetahuan pengelolaan dan teknologi budidaya di hutan rakyat, (f) belum
diketahuinya potensi dan sebaran lokasi hutan rakyat secara pasti (Siambaton.
1995 dalam Wijayanto. 2006).
Berbagai hambatan tersebut belum semua diakomodir
oleh kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan rakyat. Secara garis besar
potensi masalah yang dihadapi oleh petani pemilik untuk mengelola hutan rakyat
adalah kepemilikan lahan, aspek silvikultur (penanaman dan pemeliharaan) dan
aspek pemasaran. Ketiga aspek ini secara
keseluruhan belum tersentuh oleh kebijakan pemerintah guna meningkatkan pendapatan
ditingkat petani. Oleh karena itu penyempurnaan kebijakan dibidang pengelolaan
hutan rakyat masih sangat dibutuhkan ditingkat petani pemilik hutan rakyat.
II. ASPEK PENGELOLAAN HUTAN
RAKYAT
DAN KABIJAKAN PEMERINTAH
Aspek pengelolaan hutan rakyat yang berkaitan
dengan kegiatan yang sudah dilaksanakan oleh petani dan kebijakan pendukung
yang sudah dikeluarkan diuraikan pada sub bab berikut ini;
a. Kepemilikan Lahan
Secara umum khususnya di
Pulau Jawa masalah utama terletak pada sempitnya lahan garapan yang rata-rata
kurang dari 0,25 ha dan tidak dalam satu blok. Kepemilikan lahan yang
memungkinkan untuk dijadikan areal pengembangan hutan rakyat pada umunya
terdiri dari satuan usahatani sempit dengan rata-rata kepemilikan lahan 0,5 ha
/kk. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa terdapat korelasi antara luas
kepemilikan lahan dengan pengembangan tanaman kehutanan. Makin sempit penguasaan lahan makin kurang minat untuk menanam tanaman
pohon (Mile Y., 2005). Lahan yang dimiliki oleh petani mempunyai tingkat
kendala yang tinggi untuk diberlakukan suatu kebijakan pemerintah. Kebijakan
yang ada dan sudah dilaksanakan hanya sebatas program intensifikasi tanaman dan
pelaksanaan tumpangsari untuk mengoptimalkan lahan garapan yang sempit.
b. Silvikultur
Ditinjau dari sejarah kegiatan penanaman kayu
sudah dimulai sejak dahulu sehingga jika target yang diharapkan hanya menanam
kayu petani sudah mempunyai pengalaman yang lebih banyak. Kegiatan
penanaman yang dilaksanakan oleh masyarakat secara umum menggunakan
bibit/anakan yang tumbuh secara alami yang penyebarannya dibantu oleh angin.
Bibit alami ini sudah banyak dilakukan untuk kegiatan penanaman oleh masyarakat
diantaranya di Wonosobo dan di Sukamulya
Ciamis. Anakan alami dari sengon tumbuh rapat pada satu tempat menyerupai
bendeng tabur yang kemudian disebarkan pada lahan garapannya. Hasil wawancara
di beberapa lokasi di Kabupaten Ciamis
diperoleh informasi bahwa kegiatan penanaman yang berasal dari bibit
yang tumbuh alami pada lahan tersebut mempunyai persen tumbuh dan persen jadi
lebih baik dari pada bibit yang berasal dari luar daerah dengan cara membeli.
Hal ini disebabkan bibit yang tumbuh alami sudah beradaptasi dengan lingkungan
dan sudah teruji tingkat kecocokannya.
Disamping masalah
bibit, teknik-teknik untuk mempercepat
pertumbuhan diameter dan tinggi pohon ditingkat petani sudah tidak menjadi
kendala, salah satunya masyarakat di Panawangan Ciamis sudah cukup lama
membudidayakan hutan rakyat jenis sengon dengan menggunakan terubusan. Berdasarkan
hasil pengukuran teknik terubusan
Suyarno (2005) menyebutkan bahwa tingkat pertumbuhan diameter dan tinggi pohon
sengon lebih cepat bila dibandingkan
dengan teknik penanaman dari bibit. Hal ini dikarenakan sistem perakaran
terubusan sudah lebih berkembang dibandingkan dengan sistem anakan, sehingga
kemampuan penyerapan nutrisi lebih baik. Berdasarkan hasil pengukuran secara
acak, sengon yang berasal dari terubusan di Panawangan Ciamis hasilnya
disajikan dalam Tabel 1.
Tabel
1 : Data hasil pengukuran teknik terubusan.
Klasifikasi
|
Diameter
Pohon
|
Diameter
Terubusan
|
|
Diameter
|
dari
Bibit
(cm)
|
Jumlah
Terubusan
|
Diameter
(cm)
|
Besar
|
0,36
|
3
|
0,37
|
|
|
|
0,07
|
|
|
|
0,29
|
Sedang
|
0,19
|
2
|
0,21
|
|
|
|
0,13
|
Kecil
|
0,04
|
2
|
0,04
|
|
|
|
0,09
|
Sumber data : Hasil pengukuran diameter pada tahun 2004
Berdasarkan Tabel 1 ditunjukkan bahwa sengon dengan sistem terubusan
menghasilkan diameter tegakan yang lebih besar bila dibandingkan dengan tanaman
sengon yang berasal dari bibit, apalagi secara kwantita keseluruhan terubusan
dijumlahkan. Hal ini memberikan gambaran bahwa secara langsung teknik terubusan
menghasilkan pertumbuhan diameter awal kayu yang lebih besar dari pada tegakan
sengon yang berasal dari bibit. Apabila rata-rata tinggi pohon pada Tabel 1
diasumsikan sama yaitu 12 m dan jumlah terubusan hanya 2 pohon terbesar maka
diperoleh rata-rata volume total sebesar 1,13 m3.
Masyarakat dalam
membudidayakan hutan rakyat selain menggunakan sistem terubusan, pada umumnya
sudah menggunakan sistem tumpangsari, baik dengan komoditi tanaman perkebunan,
tanaman obat maupun tanaman palawija. Hasil survey dari beberapa sampel pola
tumpangsari yang dilaksanakan oleh petani diantaranya (Diniyati D.dkk, 2005)
yaitu;
(1)
Pola yang sudah dilaksanakan di Kabupaten
Tasikmalaya; (a) Tanaman kayu + tanaman buah-buahan + tanaman semusim + tanaman
obat, (b). Tanaman kayu-kayuan + tanaman buah-buahan + tanaman perkebunan. (c).
Tanaman kayu-kayuan + tanaman
buah-buahan + tanaman perkebunan + tanaman obat.
(2)
Pola
yang sudah dilaksanakan di Kabupaten Cilacap; (a) Tanaman kayu + tanaman
buah-buahan + tanaman obat, (b). Tanaman kayu-kayuan + tanaman buah-buahan +
tanaman perkebunan + tanaman semusim + tanaman obat. (c). Tanaman kayu-kayuan + tanaman buah-buahan +
tanaman perkebunan + tanaman obat. (d) tanaman obat-obatan + tanaman perkebunan
+ tanaman semusim + tanaman kayu.
(3)
Pola
yang sudah dilaksanakan di Kabupaten Ciamis; (a) Tanaman kayu + tanaman
buah-buahan, (b). Tanaman kayu-kayuan + tanaman buah-buahan + tanaman
perkebunan + tanaman semusim (c). Tanaman kayu-kayuan + tanaman buah-buahan +
tanaman perkebunan + tanaman palawija.
(4)
Pola
yang sudah dilaksanakan di Kabupaten Wonosobo; (a) Tanaman kayu + tanaman
perkebunan (b) tanaman kayu + tanaman semusim (c) tanaman kayu + tanaman
obat-obatan (d) tanaman kayu + tanaman perkebunan + tanaman obat.
(5)
Pola
yang sudah dilaksanakan di Kabupaten Kuningan; (a) Tanaman kayu + tanaman
semusim + tanaman buah-buahan + tanaman perkebunan, (b). Tanaman kayu-kayuan +
tanaman perkebunan + tanaman buah-buahan + tanaman bambu. (c). Tanaman
kayu-kayuan + tanaman perkebunan + tanaman semusim + tanaman obat-obatan. (d).
Tanaman kayu + tanaman buah-buahan + tanaman semusim.
Berbagai pola tersebut untuk meningkatkan
pendapatan dari hutan rakyat, meskipun demikian untuk lebih mengoptimalkan
pertumbuhan dan hasil yang maksimal berbagai kebijakan sudah dilaksanakan. Dari
segi bibit untuk menjamin kualitasnya kebijakan pemerintah sudah memberlakukan
sertifikasi bibit terhadap semua program pemerintah, disamping itu Departemen
Kehutanan telah membentuk UPT yang mempunyai tupoksi dibidang risert mulai dari
aspek biji, benih, tindakan silvikultur sampai teknologi pengolahan hasil.
Dibentuknya berbagai instansi tersebut diharapkan mampu merakit atau
menciptakan paket teknologi yang akhirnya dapat diadopsi oleh masyarakat guna
lebih mengoptimalkan produktivitas yang akhirnya dapat meningkatkan pendapatan
petani.
C. Aspek Pemasaran
Aspek pemasaran memegang
peranan yang sangat penting dan menjadi ujung dari semua proses. Kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa petani pada umumnya dihadapkan pada masalah
kebutuhan yang mendesak dan seringkali tanaman kayu menjadi andalan guna
mengatasinya sehingga muncul istilah ”daur butuh” . Kondisi tersebut
menyebabkan petani pada posisi yang lemah karena pada kenyataannya penjualan
kayu dilaksanakan dengan sistem borongan kepada bandar. Penjualan kayu yang
dilaksanakan oleh petani dengan sistem borongan ke bandar ada beberapa alasan
yang melatarbelakanginya yaitu; (1) tidak menanggung biaya
pemanenan/penebangan, (2) tidak perlu mengeluarkan biaya pemasaran karena biaya
penebangan, pembagian batang, pengangkutan dan pemasaran menjadi tanggungan
pedagang pengumpul, (3) tidak ikut mananggung biaya kerusakan kayu/penyusutan
yang dikarenakan kayu tidak memenuhi persyaratan pasar, (4) bisa memanfaatkan
sisa-sisa tebangan yang tidak diambil pedagang pengepul sebagai kayu bakar,
sisa daun dapat sebagai makanan ternak maupun pupuk hijau. Meskipun demikian
secara hitungan ekonomi petani sangat dirugikan dengan sistem penjualan borongan
karena disamping nilai tawar di petani rendah, total volume kayu sebagai dasar
penentuan harga tidak diketahui dan hanya berdasarkan jumlah pohon. Fenomena
penjualan kayu yang merugikan petani tersebut sudah berjalan lama dan belum ada
campur tangan pemerintah untuk mencari jalan keluar guna meminimalisir kerugian
di tingkat petani.
Kebijakan tentang hasil dan
pamasaran dari hutan rakyat belum ada perhatian dari pemerintah meskipun pada
tahun 1994/1995 terbentuk Dinas Perhutanan dan Konservasi tanah (Dinas PKT) di
Kabupaten yang mempunyai tugas melaksanakan 5 (lima) urusan di bidang
kehutanan, yaitu penghijauan dan hutan rakyat, konservasi tanah dan air,
perlebahan, persuteraan alam dan penyuluhan. Kemudian dalam perkembangannya
pada tahun 1998 menjadi 10 urusan kehutanan yang dilaksanakan Dinas PKT, dan
selanjutnya sejak otonomi daerah telah berkembang menjadi Dinas otonom di
Kabupaten yang menangani urusan kehutanan sesuai dengan kewenangan Pemerintah
Kabupaten/Kota hingga sekarang. Kebijakan yang dikeluarkan dengan adanya
pelaksanaan otonomi daerah masih sebatas surat ijin penebangan dan surat
keterangan jalan bukti legalitas kayu. Kebijakan ini tidak menyentuh kepada
kepentingan petani pemilik kayu karena kebijakan tersebut berkenaan langsung kepada
para pengusaha/bandar kayu dan petani tetap dalam posisi yang lemah (posisi
tawar yang rendah) dalam penjualan kayu.
Kebijakan pemerintah dalam
menekan tingkat kerugian petani dalam penjualan kayu dapat dilakukan beberapa
langkah diantaranya;
1.
Sosialisasi penghitungan volume kayu.
Langkah ini dilakukan untuk
meminimalisir kerugian petani, baik penjualan sistem borongan maupun per pohon. Pengetahuan tentang volume kayu ditingkat
petani diharapkan dapat meningkatkan nilai tawar pada saat bertransaksi. Sosialisasi
penghitungan volume kayu terlebih dahulu dilaksanakan ditingkat penyuluh untuk
menyamakan presepsi dan teknik penghitungan kayu yang benar karena diduga cara
penghitungan volume kayu yang benar belum dikuasai oleh semua penyuluh dengan
ditemukan kasus di lapangan penghitungan diameter dilaksanakan sejauh jangkauan
tangan.
Penyuluh sebagai ujung tombak
di lapangan yang paling dekat dengan petani harus mensosialisasikan teknik
penghitungan volume ke tingkat petani sehingga petani mempunyai wawasan yang
seragam tentang volume kayu yang akhirnya dapat beradu tawar dengan
pembeli/bandar.
2.
Sosialisasi tentang pasaran harga yang kontinyu.
Informasi harga juga sangat
dibutuhkan ditingkat petani yang domisilinya relatif jauh dari perkotaan dengan
harapan dapat dijadikan sebagai dasar harga yang akan ditawarkan ke pembeli
sehingga tingkat kerugian di petani dapat dihindari.
3.
Peninjauan kembali pemberlakuan restribusi kayu rakyat.
Kebijakan tentang hasil kayu
rakyat berupa kayu sudah mengalami beberapakali perbaikan dan revisi. Pada
awalnya restribusi diberlakukan dari kegiatan penebangan sampae pengangkutan.
Pemberlakuan SKAU (surat keterangan asal usul kayu) telah memperpendek jalur
administrasi pengangkutan kayu tetapi pada dasarnya biaya administrasi masih
dikeluarkan pada saat kayu akan diangkut ke luar daerah. Biaya yang ditanggung
pembeli secara tidak langsung dibebankan kepada petani pemilik karena dasar
penentuan harga pembelian dengan memperhitungan terhadap semua biaya yang
dikeluarkan.
Dua dari tiga langkah tersebut yaitu sosialisasi
penghitungan volume dan sosialisasi pasaran harga sebagai gambaran sederhana
yang tidak memerlukan biaya besar, adapun untuk menstabilkan harga, campur
tangan pemerintah sangat diperlukan yang mungkin dapat ditempuh dengan
kebijakan pelarangan mendatangkan kayu dari luar daerah selama stok bahan baku
di daerah setempat masih mencukupi. Rangsangan berupa perhargaan atau reward
dari pemerintah kepada petani atau penyuluh yang berhasil menjaga kelestarian
hutan rakyat dapat dilaksanakan untuk menarik perhatian masyarakat yang lain
agar terdorong menjaga kelestarian hutan rakyat yang akhirnya stok kebutuhan
bahan baku industri didaerah tersebut tetap terjaga dan harga dapat stabil.
III. PENUTUP
Pelaksanaan program penghijauan yang sudah cukup
lama kiranya paradigma yang harus diusung tidak hanya sebatas bantuan bibit dan
bimbingan teknis tetapi juga harus menyentuh kepada aspek pemasaran yang selama
ini seringkali ditinggalkan. Aspek pemasaran tidak hanya informasi tentang
agen-agen yang siap menampung hasil dari petani tetapi pengetahuan petani
tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan penjualan hasil hutan rakyat
berkaitan dengan volume, harga dan lain-lain perlu ditingkatkan sehingga dapat
meminimalisir kerugian di tingkat petani. Kebijakan pemerintah masih sangat
ditunggu untuk menunjang keberlanjutan pengusahaan hutan rakyat dan menjaga
kestabilan harga. Apresiasi pemerintah kiranya sangat diperlukan berupa
penghargaan kepada semua pihak, baik petani, penyuluh maupun pihak lain yang
berusaha menjaga kelestarian hutan rakyat yang akhirnya stok dari hutan rakyat
dapat terjaga dan dapat menguntungkan semua pelaku usaha kayu rakyat, terutama
petani.
DAFTAR PUSTAKA
Awang
S., W. Andayani., B. Himmal., W.T. Wahyuni dan A. Affianto. 2002. Hutan
Rakyat, Sosial Ekonomi dan Pemasaran. Fakultas Ekonomi UGM. Yogyakarta .
Diniyati D, S.E. Yuliani., E. Fauziyah.,
Suyarno, A. Badrunasar. 2005. Kondisi dan Potensi Hutan Rakyat di Kabupaten
Cilacap, Ciamis, Tasikmalaya, Wonosobo dan Kuningan. Pada Prosiding Seminar
Sehari Optimalisasi Peran Litbang Dalam Mendukung Ragam Pemanfaatan Hutan
Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Kehutanan. Bogor .
Mulyana Y. 2005. Sistem Keproyekan APBN Kurang
Cocok Dengan Kultur Reboisasi. Surili Vol. 37 (4) halaman 17-18. Dinas
Kehutanan Propinsi Jawa Barat. Bandung .
Mile Y. 2005. Konsepsi Pengelolaan Lahan dan
Langkah Strategis dalam Peningkatan Produktifitas Hutan Rakyat. Pada Prosiding
Seminar Sehari Optimalisasi Peran Litbang Dalam Mendukung Ragam Pemanfaatan
Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Kehutanan. Bogor .
Suyarno. 2005. Regenerasi Hutan Rakyat
Sengon Tehnik Terubusan (Study Kasus di Kecamatan Panawangan Kab. Ciamis).
Al-Basia Vol. 1 (2) halaman 65-70. Loka Litbang Hutan Monsoon. Ciamis.
Suyarno. 2005. Menengok Tata Usaha Kayu
Rakyat di Kabupaten Ciamis Selama Otonomi Daerah. Surili Vol. 34 halaman 66-70.
Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat. Bandung .
Wijayanto
N. 2006. Strategi Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Pada Prosiding Pekan Hutan
Rakyat Nasional I. Aktualisasi Peran Litbang Mendukung Hutan Rakyat Lestari.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor .