PROSPEK PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) DI KABUPATEN TASIKMALAYA - investasi pohon

Blog investasi pohon - Blog yang menguraikan mengenai pohon/kayu dalam kerangka hutan rakyat dengan berbagai hal mulai dari investasi, produksi dan pemasaran serta kelembagaannya

Post Top Ad

Wednesday, June 1, 2016

PROSPEK PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) DI KABUPATEN TASIKMALAYA

Oleh:
Dedi Natawijaya
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi Tasikmalaya


Abstrak

Salah satu permasalahan utama dalam pola investasi hutan rakyat adalah masa menunggu hasil dari proses investasi yang dilakukan. Para pelaku perlu mencari suatu pola investasi yang cepat menghasilkan yang dirancang khusus untuk merespon kebutuhan sumber pendapatan, terutama bagi masyarakat setempat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini perlu mendapat perhatian serius, terutama dari pihak swasta (melalui kemitraan bisnis) dan pemerintah (dengan kebijakan subsidi dan bantuan modal usaha), sehingga mampu mengurangi resiko dari masalah menunggu hasil investasi tersebut. Untuk mewujudkan tujuan tersebut , paling tidak ada tiga pendekatan yang harus dirancang secara tepat sehingga mampu menjawab tantangan tersebut. Ketiga pendekatan itu adalah (1) analisis manfaat – biaya ekonomi dan finansial, (2). Analisis ekonomi lingkungan dan (3). Analisis ekonomi partisipasi. Pada umumnya penjualan kayu sengon terbatas hanya olahan sederhana yang berupa kayu palet atau kayu persegian. Belum ada variasi produk olahan kayu yang lain yang dapat memberikan tambahan nilai jual bagi petani. Petani lebih suka menjual kayu dalam bentuk gelondongan dengan system borong kebun. Bahkan masih ditemukan adanya system penjualan dengan sistim ijon yang sesungguhnya sangat merugikan pihak petani. Penentuan volume produksi dilakukan oleh pembeli, akibatnya harga yang diterima petani jauh lebih murah. Belum adanya kelembagaan seperti koperasi dalam melakukan penjualan, mengakibatkan posisi tawar petani cukup rendah karena volume produk yang dijual sangat terbatas.

Kata Kunci : hutan rakyat, kayu sengon, produk olahan kayu




 I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang
            Sengon (Paraserianthes falcataria) merupakan tanaman yang sudah tersebar hampir di seluruh desa di Kabupaten Tasikmalaya dan sudah dikenal baik oleh masyarakat. Tanaman ini sering merupakan penghuni dominan di kebun atau hutan rakyat. Hal ini disebabkan karena tanaman sengon selain tanaman yang tumbuh cepat di daerah tropis, juga fungsinya sangat luas mulai dari sebagai bahan kertas (pulp) sampai untuk bahan bangunan dan industri rumah tangga.
            Kabupaten Tasikmalaya yang memiliki luas wilayah 256.335 ha, mempunyai luas kawasan hutan seluas 44.594,10 ha atau 17,39 % dari luas wilayah serta luas hutan rakyat seluas 27.684,01 ha atau 10,79 % . Dengan demikian jumlah prosentase luas hutan di Kabupaten Tasikmalaya mencapai 28,19 %, dan berdasarkan kebutuhan minimal (30 %)  prosentase tersebut masih kurang. Oleh karena itu hutan rakyat masih harus ditingkatkan untuk mencapai kondisi ideal secara ekologis maupun peningkatan ekonomi masysarakat. 
            Potensi beberapa komoditi kehutanan yang dapat dikembangkan di Kabupaten Tasikmalaya antara lain adalah :  (1) kayu, yang meliputi kayu jati , mahoni, pinus, sengon, suren, manglid, dan lain-lain; (2)  bambu ; (3) rotan ; (4) lebah madu ; (5) sutra alam; (6) tanaman rempah dan obat; dan (7) wisata alam. Penyebaran masing-masing komoditi tersebut tidak merata dan sangat tergantung pada sifat serta karakteristik wilayah setempat. Oleh karena itu program-program jangka pendek harus diprioritaskan kepada komoditi yang mempunyai tingkat penyebaran lebih luas di masyarakat. Salah satunya adalah tanaman sengon/ albasiah (Paraserianthes falcataria).
            Program pengembangan hutan rakyat merupakan program prioritas Departemen Kehutanan saat ini yang tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan hutan . Program tersebut sudah dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu, dan berdasarkan pengamatan di lapangan hampir 80 % hutan rakyat terdiri dari tanaman sengon dan selebihnya adalah tanaman buah-buahan dan kayu lainnya.
            Pengelolaan dan pengembangan hutan rakyat harus mendapat perhatian penting dari pemerintah karena merupakan suatu sistem pengelolaan hutan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan kelestarian hutan guna menjamin keberlanjutan manfaat ekonomi, ekologi dan sosial budaya antar generasi.
            Dalam jangka pendek, pengembangan hutan rakyat memang bukan merupakan suatu investasi yang menguntungkan, namun perlu dicatat bahwa program pengembangan hutan rakyat bukan merupakan investasi jangka pendek yang mengandalkan keuntungan uang, tetapi merupakan suatu investasi publik jangka panjang dengan mengemban dua tujuan utama, yaitu masyarakat sejahtera, dan hutan lestari.
            Salah satu permasalahan utama dalam pola investasi hutan rakyat adalah masa menunggu hasil dari proses investasi yang dilakukan. Para pelaku perlu mencari suatu pola investasi yang cepat menghasilkan yang dirancang khusus untuk merespon kebutuhan sumber pendapatan, terutama bagi masyarakat setempat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
            Masyarakat lokal yang memiliki masalah seperti ini perlu mendapat perhatian serius, terutama dari pihak swasta (melalui kemitraan bisnis) dan pemerintah (dengan kebijakan subsidi dan bantuan modal usaha), sehingga mampu mengurangi resiko dari masalah menunggu hasil investasi tersebut.
            Untuk mewujudkan tujuan tersebut , yaitu masyarakat sejahtera dan hutan lestari tidak mudah. Paling tidak ada tiga pendekatan yang harus dirancang secara tepat sehingga mampu menjawab tantangan tersebut. Ketiga pendekatan itu adalah (1) analisis manfaat – biaya ekonomi dan finansial, (2). Analisis ekonomi lingkungan dan (3). Analisis ekonomi partisipasi (David dan Richards, 1999).
            Analisis manfaat-biaya ekonomi dan finansial telah digunakan di negara berkembang sejak tahun 1960-an yang hanya membahas nilai kerugian dan keuntungan secara nominal dan konvensional, dengan tidak memasukkan biaya eksternalitas sosial dan lingkungan dalam perhitungan tersebut. Akibatnya para pengambil kebijakan hanya terpukau dengan angka keuntungan saja, sementara kerusakan akibat banjir, longsor, kekeringan dan lain-lain dianggap suatu fenomena alam yang terlepas dari keputusan yang telah diambil.
            Analisis ekonomi lingkungan telah dipraktekan sejak tahun 1980-an dengan melakukan perluasan ruang analisis dengan mendorong suatu pemahaman dan penilaian menyeluruh terhadap manfaat dan biaya suatu kawasan hutan tertentu (full opportunity costs of a change in land use). Pendekatan metodologi ini menghitung biaya-biaya lingkungan dan manfaat yang hilang yang biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sebagai akibat dari suatu perubahan kawasan hutan menjadi non hutan dengan merespon penilaian ekonomi terhadap manfaat langsung dan tidak langsung dari suatu kawasan hutan.
            Pendekatan ekonomi partisipasi hadir untuk merespon keterbatasan kedua pendekatan terdahulu dengan menitik beratkan pada aspek distribusi dan sosial, yang merupakan kunci penting dalam membangun dan memperkuat proses partisipasi masyarakat. Melalui pendekatan ini membuka kesempatan luas bagi masyarakat untuk dapat mengetahui, memahami, dan menganalisis sumber daya yang dimilikinya sebagai dasar dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan.
            Ketiga pendekatan metode tersebut di atas sangat perlu dilakukan secara menyeluruh untuk menghindari kekeliruan jastifikasi dengan hanya mengandalkan satu pendekatan saja. Melalui pertimbangan tersebut, diharapkan pola investasi pada hutan rakyat dapat mendemonstrasikan tingkat efektivitas dan efisiensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang wajar dalam pembangunan kehutanan.
            Dengan memperhatikan berbagai aspek seperti aspek ekonomi, sosial, ekologi, pasar, teknis lapangan dan kondisi masing-masing lokasi yang ada di Kabupaten Tasikmalaya, maka dilakukan penyusunan swot analisis sub sektor kehutanan yang kemudian dipersempit lagi ke swot analisis untuk satu komoditi sengon. Berdasarkan analisis-analisis tersebut sampai pada suatu penetapan pilot projek yang berupa pemberdayaan koperasi dan pengembangan taanaman sengon di wilayah Kabupaten Tasikmalaya.


B. Tujuan

1.       Meningkatkan nilai tambah petani melalui perbaikan sistem pengelolaan hutan rakyat yang lebih produktif serta meningkatkan posisi tawar petani dalam menjual hasil kayu melalui koperasi.
2.       Meningkatkan keterampilan dalam mencari variasi produk berbahan baku kayu, sehingga memiliki nilai jual yang lebih tinggi.
3.       Membangun koordinasi yang baik berbagai instansi terkait yang menunjang kegiatan usaha di bidang perkayuan seperti kooperasi, lembaga keuangan daerah, Pemerintah  Daerah, pihak swasta,LSM dan masyarakat secara partisipatif.
4.       Memperluas wawasan petani dalam memahami persoalan teknis pemanfaatan lahan yang efektif, teknik pemilihan komoditi tanaman, dan teknik budidayanya.
5.       Memberdayakan koperasi hutan rakyat melalui peningkatan kreativitas dan keterampilan managerial.

C. Peluang dan Analisis Permasalahan
            Berdasarkan hasil analisis swot terhadap komoditi kayu khususnya sengon, maka dapat dilihat beberapa alasan  yang mendukung terhadap diperlukannya master plan pengembangan usaha perkayuan antara lain :
1.       Kayu albasiah selain umurnya relatif singkat, juga pemasarannya sangat mudah.
2.       Teknis budidaya sudah dapat dikuasai petani pada umumnya.
3.       Tipe perakaran yang cukup dalam sehingga mampu menarik hara yang berada pada tanah yang lebih dalam .
4.       Penggunaan kayu sangat bervariasi, sehingga masih memungkinkan untuk dicari alternatif variasi lainnya yang belum dilakukan petani.
5.       Peluang ekspor sangat terbuka, seperti ke negara-negara Asia, Eropa dan lain-lain.
6.       Berbagai jenis produk olahan kayu dapat dijual baik lokal maupun nasional.
            Adapun beberapa permasalahan umum yan ditemukan di on-farm antara lain : (1). kualitas bibit masih rendah, (2). kesulitan memperoleh bibit pada saat tanam (musim hujan) untuk beberapa lokasi tertentu, (3). petani umumnya tidak melakukan pemeliharaan intensif terhadap tanaman kayunya, kecuali hanya memelihara tanaman semusim yang ada di sekitarnya. Pada proses pemasaran, beberapa permasalahan teridentifikasi antara lain : (1) produk yang dijual hanya berupa gelondongan atau olahan sederhana, (2). sistem penjualan belum melalui asosiasi atau kelembagaan koperasi , yang mengakibatkan harga di tingkat petani tidak memiliki standar yang tetap, (3) belum tersedia insentif permodalan yang mudah dari pihak pemerintah bagi usaha perkayuan. 
            Pengembangan tanaman sengon sebenarnya cukup potensial untuk dikembangkan,  hal ini terbukti dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan di beberapa daerah lain  ternyata pengembangan hutan rakyat secara ekonomi dapat meningkatkan pendapatan petani di Maros Sulawesi 7,61 %, di Wonosobo dan Blitar 27,9 %, di Sulawesi selatan 24,95 %, dan di Kabupaten Gowa 27,34 % (Purwanto dkk., 2003).
            Hasil kajian kelayakan finansial dari tanaman sengon di beberapa tempat dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil perhitungan kelayakan finansial tanaman sengon di beberapa lokasi
No
Lokasi
BCR
IRR
NPV (Rp.)
1
HR Cempaka Kab. Minahasa (Sulut)
13,98
29,47 %
77.697.000
2
HR di Kab. Maros (Sulsel)
3,59
53,51 %
6.392.526
3
HR Malino Kab. Gowa
1,15
30,12 %
5.027.643
4
HR di Kab. Banjarnegara
-
-
11.049.050
   Data yang diperoleh dari lapangan tentang harga penjualan ternyata menunjukkan variasi yang tinggi. Hal ini disebabkan karena tingkat urgensi kebutuhan petani (misalnya kebutuhan yang sangat mendesak), lokasi kebun dan jarak dari jalan raya, serta kemampuan petani dalam negosiasi harga dengan pembeli. Dengan demikian maka gambaran harga yang ada adalah merupakan rerata atau indeks yang berlaku pada setiap level pelaku pasar.  Pada Tabel 2. disajikan contoh indeks harga kayu sengon di beberapa lokasi.
            Outflow merupakan biaya yang dikeluarkan per m3 yang terdiri dari biaya pembelian pohon, biaya tebang, biaya angkut, biaya pengolahan dari log ke kayu gergajian. Taksiran di lapangan rendemen kayu gergajian mencapai 60 %. Inflow meliputi harga jual kayu dan penjualan sebetan kayu bakar yang rata-rata (Rp. 12.000,- / m3)

 Tabel 2.  Sebaran indeks harga kayu rakyat jenis Albasia di beberapa kabupaten
Kabu-
paten
Petani
Pengepul
Penggergajian
Broker

Industri
( per m3 )
( per m3 )
( per m3 )
( per m3 )

Tasik-
malaya

Diameter
Rp
outflow
inflow
outflow
inflow
outflow
inflow
10-15
100.000
200.000
240.000
250.000
275.000
275.000
300.000
Tgt. negara tujuan ekspor
15-19
120.000






> 
180.000







Cilacap
10-15
90.000
20.0000
230.000
240.000
275.000
275.000
285.000
15-19
120.000






> 
175.000







10-15







15-19







> 







            Alur tata niaga kayu sengon dapat bervariasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya permodalan petani, pengetahuan petani tentang akses pasar, jarak dari kebun dan lain-lain.


II. KONDISI AKTUAL DAN STRATEGI PEMASARAN


A. Kondisi aktual agribisnis sengon

            Kabupaten Tasikmalaya memiliki hutan rakyat seluas 27.684,01 ha. yang ditanami berbagai jenis tanaman kayu. Namun pada umumnya populasi kayu didominasi oleh tanaman sengon/ albasiah. Tanaman ini sudah memasyarakat hampir di seluruh pedesaan. Demikian pula teknik bercocok tanamnya sudah dikuasai petani. Sayangnya kualitas bibit sengon yang digunakan belum diperhatikan dengan baik, demikian pula pemeliharaan, baik pemupukan maupun pemberantasan hama dan penyakit tampaknya belum memasyarakat sehingga hasil masih kurang optimal. Selain hutan rakyat , masih ada lagi lahan yang berpotensi untuk dikembangkan dengan tanaman perkayuan yaitu dengan memanfaatkan lahan-lahan kritis yang mencapai luas 16.142 ha.
         Berdasarkan karakteristik, hutan rakyat pada umumnya  adalah hutan campuran. Jenis pohon dominan adalah sengon, yang lainnya terdiri dari tanaman mahoni, afrika manglid, tisuk, suren dan buah-buahan. Pola yang diterapkan pada umumnya adalah agroforestry. Selama ini, penjualan kayu albasiah khususnya di Kabupaten Tasikmalaya tidak menjadi masalah karena didukung oleh 159 unit pengolahan kayu yang tersebar di seluruh pedesaan. Namun demikian pada umumnya pengolahan yang ada terbatas hanya olahan sederhana yang berupa kayu palet atau kayu persegian. Belum ada variasi produk olahan kayu yang lain yang dapat memberikan tambahan nilai jual bagi petani. Petani lebih suka menjual kayu dalam bentuk gelondongan dengan sistim borong kebun. Bahkan masih ditemukan adanya sistim penjualan dengan sistim ijon yang sesungguhnya sangat merugikan pihak petani. Transaksi yang terjadi pada sistim penjualan borongan yaitu tanaman yang akan dijual (dipilih atau di rad) ditaksir oleh pihak pembeli, kemudian ditentukan harganya, dan setelah ada kesepakatan harga dilanjutkan dengan pembayaran. Penentuan volume produksi dilakukan oleh pembeli, akibatnya harga yang diterima petani jauh lebih murah.
         Petani belum tertarik untuk bergabung dalam suatu kelembagaan seperti koperasi dalam melakukan penjualan. Akibatnya posisi tawar petani cukup rendah karena volume produk yang dijual biasanya tidak terlalu banyak. Hal ini kemungkinan terjadi salah satunya disebabkan karena kepemilikan lahan petani sangat kecil (hanya rata-rata 0,25 ha) sehingga tidak mempunyai kekuatan atau daya tawar yang tinggi.
         Sebenarnya kelembagaan dalam bentuk kelompok tani sudah relatif cukup banyak yaitu mencapai 575 kelompok. Demikian pula sudah terbentuk koperasi komoditi kayu sebanyak 13 koperasi yang tersebar di beberapa wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Namun keberadaan kelembagaan tersebut belum dapat mendongkrak kesejahteraan petani hutan. Hal ini mungkin disebabkan karena kelembagaan tersebut belum bekerja optimal bahkan mungkin belum berjalan sama sekali.
            Keberadaan dan keaktipan tenaga penyuluh sangat dibutuhkan dalam rangka merubah sikap petani terhadap proses pemasaran kayu rakyat. Namun demikian hal ini tidak lepas dari kemampuan sumber daya manusia yang selalu harus dinamis dan terus dikembangkan. Oleh karena itu peningkatan kualitas sumber daya manusia juga merupakan program yang harus dilakukan terutama yang berhubungan langsung dengan para petani di lapangan.

B. Strategi Pemasaran
            Melalui kegiatan yang direncanakan diharapkan adanya beberapa perubahan yang terjadi pada sistim pengelolaan dan pengusahaan perhutanan rakyat saat ini. Dimulai dari adanya perubahan sikap dan persepsi terhadap fungsi hutan yang mengemban fungsi ekologis dan ekonomis. Selanjutnya perubahan sikap itu diikuti dengan terjadinya perubahan sikap pada cara bercocok tanam khususnya kayu dengan memperhatikan kualitas dan kuantitas serta bertujuan komersial.
            Upaya untuk memperbaiki kualitas tersebut juga tercermin dari adanya perubahan sikap terhadap keinginan untuk memelihara dengan baik, seperti pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit.  Demikian pula adanya peningkatan dalam memahami tujuan konservasi, penyesuaian lahan dengan peruntukannya sesuai dengan kondisi lahan, serta upaya untuk mengoptimalkan lahan dengan variasi tanaman.
            Dari segi pengolahan produksi diharapkan adanya keinginan untuk menjual dalam bentuk kayu yang diolah menjadi produk tertentu yang diarahkan oleh kelembagaan yang dibangun, baik koperasi, perindag dan mitra lainnya. Ini tidak lain adalah untuk tercapainya peningkatan nilai jual petani. Petani melalui kelompok yang terbentuk atau bersama koperasi secara bersama sama membangun sistim pemasaran yang dapat memberi kekuatan daya tawar petani sehingga kecenderungan terbentuknya pasar oligopsoni dapat dihilangkan.
            Dalam hal penguatan kelembagaan yang terbentuk selain kelompok tani, juga dibentuk koperasi sebagai lembaga yang dapat berfungsi membantu dalam beberapa aspek seperti pemasaran, kontrol kualitas, inovasi produksi, penggalangan mitra kerja sampai penjaminan dana usaha atau pemberian modal usaha untuk meperkuat posisi petani dari kekuatan sistim ijon dan sejenisnya.
            Keberadaan koperasi, terutama di daerah pedesaan sangat dibutuhkan oleh  masyarakat terutama petani. Khusus untuk petani hutan di beberapa daerah telah terbentuk koperasi yang bertujuan untuk memperkuat kelembagaan  yang dapat membantu meningkatkan petani hutan rakyat. Namun dalam perkembangannya, semua bentuk koperasi ternyata banyak yang tidak berfungsi secara efektif kecuali koperasi pegawai negeri. 
            Melihat keadaan luas hutan rakyat yang diprediksi sekitar 27.684,01 ha, maka sesungguhnya koperasi hutan rakyat harus berkembang dan dapat memberi nilai tambah yang dapat meningkatkan kesejahteraan para petani. Jika setiap unit usaha koperasi berada pada luasan 500 ha, maka peluang terbentuknya koperasi hutan rakyat sekitar 55 unit. Namun demikian koperasi yang ada saat ini hanya bergerak pada kegiatan simpan pinjam, itupun dengan anggota yang sangat terbatas. Inilah salah satu persoalan kelembagaan yang harus diperbaiki baik oleh pemerintah maupun pihak terkait lainnya.
            Strategi pemasaran melalui asosiasi atau koperasi dapat memberi kekuatan daya tawar bagi produsen sehingga dapat memberi nilai tambah penjualan. Pada umumnya petani menjual kayu jumlahnya sedikit karena pemilikan luas lahan yang sempit, akibatnya penentu harga berada pada pihak pedagang perantara.  Namun sebaliknya jika petani tergabung dalam sebuah asosiasi atau koperasi, maka penentu harga ada di asosiasi tersebut.
            Berkaitan dengan banyaknya unit pengolahan kayu yang homogen, ke depan diharapkan adanya pembatasan unit pengolahan kayu. Dalam hal ini yang diharapkan munculnya variasi unit pengolahan yang secara spesifik memproduksi / mengolah berbagai jenis produk kayu olahan. Hal ini akan memberi peluang kepada petani untuk memilih produk yang diinginkan. Ada keuntungan yang didapat dari terbatasnya unit pengolahan yaitu secara tidak langsung memperlambat eksploitasi tanaman kayu yang menjadi tujuan dalam sisi konservasi lingkungan.


III. PELAKSANAAN PROGRAM

            Program yang diusulkan dalam rangka memperbaiki sistem usaha tani kayu albasiah meliputi beberapa tahapan yaitu :
a.       Penyuluhan, pelatihan dan studi banding.
b.       Pembuatan kebun bibit desa (KBD) .
c.       Percontohan model hutan rakyat .
d.       Pengembangan model kayu olahan.
e.       Pemberdayaan koperasi hutan rakyat .
f.        Monitoring dan evaluasi

A. Penyuluhan, Pelatihan dan Studi Banding
            Penyuluhan dan pelatihan sangat penting artinya baik bagi petani, pengusaha perkayuan maupun bagi penyuluh lapangan sendiri. Penyuluhan yang dilakukan diharapkan dapat meningkatkan pemahaman  tentang teknologi budidaya tanaman kehutanan yang diarahkan kepada sistim pengembangan agribisnis kehutanan yang efisien mulai dari hulu sampai hilir.  Demikian pula dengan pelatihan dan studi banding diharapkan dapat membuka  wawasan para pelaku usaha di bidang kehutanan, serta berdampak pada peningkatan kreativitas dan keakhlian masing-masing dan pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Di pihak lain, petani dan pelaku usaha lainnya juga harus memahami fungsi hutan tidak hanya ditujukan untuk tujuan ekonomi tetapi harus memperhatikan kepentingan ekologis dan sosial. Pada tahap ini para peserta akan mendapat beberapa pemahaman secara teoritis dan  selanjutnya akan dicoba diperkenalkan pada kondisi yang lebih lebih aplikatif pada tahap kegiatan berikutnya. Prediksi jadwal dan peserta serta penanggung jawab pelaksana kegiatan direncanakan sebagai sebagaimana tertera padaTabel 3.
Tabel. 3. Jadwal kegiatan penyuluhan, pelatihan dan studi banding
No
Jenis kegiatan
Lama pelaksanaan
Jumlah Peserta
Pelaksana/penanggungjawab
1
Penyuluhan petani
1 minggu
200 orang
PKL, Perindag, Dishutbun, UNSIL,Bapeda.
2
Pelatihan petani
4 hari
78 orang
Dishutbun, UNSIL, Perindag
3
Pelatihan penyuluh
2 hari
39 orang
Dishutbun, UNSIL, Perindag
4
Studi banding
3 hari
150 orang
Panitia



B. Pembuatan Kebun Bibit Desa (KBD)
            Kebun bibit desa (KBD) dibuat terbatas (6 lokasi) pada beberapa Kecamatan yaitu Cisayong, Sodong Hilir, Salopa, Cikatomas, Cikalong, dan Sukaraja. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada jumlah luas lahan hutan rakyat yang lebih dari 1.000 ha.
            Percontohan pembibitan kayu meskipun sudah pernah dilakukan di beberapa lokasi desa, namun masih perlu dilanjutkan terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat pembibitan. Melalui perbaikan kualitas dan kuantitas bibit diharapkan para petani memperoleh kualitas bibit yang baik serta relatif lebih murah dan mudah mendapatkannya. Selain itu juga para petani diharapkan dapat lebih terampil dalam penyediaan bibit dan tidak selalu tergantung kepada pihak lain/daerah lain. Kegiatan percontohan ini juga diharapkan dapat ditiru oleh masyarakat sekitarnya sehingga kendala ketersediaan bibit di lokasi tidak menjadi masalah lagi. Jumlah unit kegiatan ini dapat diperluas seandainya pendanaan memungkinkan .

C. Percontohan model hutan rakyat
            Pembuatan model hutan rakyat dilakukan dengan tujuan untuk memberi gambaran kepada masyarakat tentang diperlukannya keterpaduan fungsi ekologis dan ekonomis. Melalui pembuatan miniatur hutan rakyat (1–2 ha) dapat memberi contoh model yang dapat dikembangkan di tempat-tempat lain.  Model hutan rakyat yang akan dikembangkan adalah yang memiliki tingkat produktivitas tinggi dengan cara penetapan tanaman tahunan yang dikombinasikan dengan berbagai tanaman lainnya sehingga hutan yang dikembangkan benar – benar dapat memberi tambahan penghasilan petani selain dari kayunya juga dari tanaman lainnya dengan tidak menghilangkan fungsi ekologis dan ekonomis. Pada model ini kaidah konservasi tanah harus menjadi perhatian serius dengan memberi contoh model yang disesuaikan dengan kondisi lahan setempat.

D. Pengembangan model kayu olahan
            Pengembangan model pengolahan kayu yang dimaksud disini adalah pengolahan yang dapat membuat variasi produk dari kayu sehingga dapat memperluas pasar dan memberi nilai tambah yang baik. Selama ini pengolahan yang ada di pedesaan terbatas hanya pembuatan papan kayu atau kayu palet yang berupa persegian. Bahkan seringkali petani lebih senang menjual kayu gelondongan karena lebih mudah dan cepat. Dengan adanya pabrik pengolahan yang dapat membuat variasi produk tersebut  diharapkan adanya variasi produk yang dapat dibuat untuk meningkatkan pendapan para pelaku usaha perkayuan maupun petani, misalnya produk berupa particle board, kerajinan tangan, batang korek api, chopstick, berbagai profil kayu dan lain-lain.
            Hal yang akan menjadi prioritas dalam pengembangan pengolahan ini adalah mengupayakan bagaimana agar pemilik pabrik pengolahan tersebut bukan milik perorangan (pengusaha). Yang paling memungkinkan adalah harus menjadi milik bersama misalnya koperasi/asosiasi/atau milik pemerintah setempat . Dengan demikian maka produk kayu olahan tersebut dibuat dan dipasarkan melalui suatu badan usaha yang dapat memberikan kekuatan daya tawar yang lebih tinggi. Dan pada akhirnya petani ikut menikmati harga yang lebih tinggi dari hanya sekedar menjual kayu gelondongan.


E. Pemberdayaan koperasi hutan rakyat
            Koperasi atau badan usaha tertentu harus dibuat dengan tujuan untuk melakukan upaya terobosan baru dalam sistim tata niaga perkayuan yang ada saat ini. Koperasi tersebut harus menjadi pelopor dalam mengembangkan kreasi variasi produk yang disesuaikan dengan permintaan pasar. Dengan semangat kebersamaan dalam sebuah wadah koperasi ini diharapkan para petani yang tergabung dalam anggota koperasi selain lebih memiliki kekuatan dalam aspek daya tawar produk, juga dapat mengantisipasi munculnya sistim penjualan dengan cara borong kebun atau sistim ijon. Kekuatan lainnya yang dapat diharapkan dari koperasi ini adalah dapat menjadi lembaga keuangan yang dapat membantu petani dalam kesulitan dana sementara atau untuk permodalan terbatas.

F. Monitoring dan evaluasi
            Monitoring proses pengamatan data dan fakta yang pelaksanaanya dilakukan secara periodik dan terus menerus terhadap masalah sbb. :
a.       Jalannya kegiatan.
b.       Penggunaan input.
c.       Hasil akibat kegiatan yang dilaksanakan (output).
d.       Faktor luar atau kendala yang mempengaruhinya.
            Evaluasi  kegiatan program pengembangan agribisnis kayu sengon adalah proses pengamatan dan analisis data dan fakta yang pelaksanaanya dilakukan menurut kepentingannya mulai dari penyusunan rencana program, pelaksanaan program dan pengembangan program pengelolaan kayu sengon. Hasil evaluasi pada pengembangan program akan berguna sebagai  masukan bagi penyusunan rencana program dan pengambilan keputusan pada tahapan berikutnya.  Untuk memproleh data dan informasi yang dapat memberikan gambaran menyeluruh mengenai perkembangan program pengelolaan kayu sengon, maka diperlukan kegiatan monitaroring dan evaluasi yang ditekankan pada aspek :  1) SDM, 2) Sarana produksi, 3) Pemodelan dan 4) Pengembangan kelembagaan.

IV. PENUTUP

            Rencana kegiatan program pengembangan kayu sengon disusun mulai dari perencanaan sampai pada monitoring dan evaluasi. Melalui penyusunan Rrencana kegiatan program pengembangan kayu sengon diharapkan terjadi perubahan sikap, prilaku dan kesejahteraan masyarakat petani perhutanan ke arah yang lebih baik.
            Keunggulan kayu albasiah selain umurnya relatif singkat, juga pemasarannya sangat mudah, teknis budidaya sudah dapat dikuasai petani, tipe perakaran cukup dalam sehingga mampu menarik hara yang berada pada tanah yang lebih dalam, penggunaan kayu sangat bervariasi, peluang ekspor sangat terbuka, serta kayu dapat dijual baik lokal ,nasional maupun internasional.
            Penjualan kayu dalam bentuk olahan dapat meningkatkan nilai jual petani, terutama jika melalui kelompok atau koperasi membangun sistim pemasaran yang dapat memberi kekuatan daya tawar petani sehingga kecenderungan terbentuknya pasar oligopsoni dapat dihilangkan.
            Dengan semangat kebersamaan dalam sebuah wadah koperasi ini diharapkan para petani yang tergabung dalam anggota koperasi selain lebih memiliki kekuatan dalam aspek daya tawar produk, juga dapat mengantisipasi munculnya sistim penjualan dengan cara borong kebun atau sistim ijon. Kekuatan lainnya yang dapat diharapkan dari koperasi adalah dapat menjadi lembaga keuangan yang dapat membantu petani dalam kesulitan dana sementara atau untuk permodalan terbatas.

Lampiran 1. Rancangan kegiatan pengembangan kayu sengon di Kab. Tasikmalaya.  
No
Tahun ke
Jenis kegiatan
Pihak terkait
1
I
Melakukan penyuluhan, pelatihan kepada beberapa kelompok tani dari berbagai lokasi yang ada di Kab. Tasikmalaya, dan selanjutnya diakhiri dengan kegiatan studi banding ke lokasi yang dianggap dapat menjadi contoh / atau lokasi yang sudah berhasil dalam hal mengembangkan sestem hutan rakyat dan dalam usaha perkayuan.
Perg. Tinggi, Dishut
2
I
Pembuatan kebun bibit desa (KBD) di beberapa lokasi / Desa yang lebih representatif dari segi kualitas dan kuantitas.
Perg. Tinggi, Dishut.
3
II
Percontohan model hutan rakyat. Model yang dibangun adalah model yang menggabungkan penanaman tanaman kayu dan tanaman rempah / obat yang dapat memberi tambahan hasil bagi petani sepanjang tahun. Pengaturan populasi tanaman diatur sedemikian agar efektif dan lebih produktif.
Perg. Tinggi, Dishut.
4
III
Pengembangan model kayu olahan. Pengolahan  yang dibangun adalah yang dapat membuat hasil olahan kayu multi fungsi seperti palet, profil, chopstick, batang korek api, dll.
Perg. Tinggi, Dishut, Perindag.
5
III
Pemberdayaan koperasi / asosiasi para pelaku usaha perkayuan berbasis masyarakat, bertujuan untuk membantu penguatan kelembagaan yang dapat mengakses kualitas produksi, pemasaran dan mengembangkan mitra bisnis.
Perindag, Dishut,
Perg. Tinggi, Dinas Koperasi.
6
IV - V
Monitoring dan evaluasi
Dishut, Perindag, Perg. Tinggi, LSM.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Budiman. 2003. Kajian tata niaga dan pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Cilacap. Loka Litbang Monsoon Ciamis.

Anonim. 2002. Rencana Strategis Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya.

BTP DAS Surakarta. 2002. Pedoman monitoring dan evaluasi pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis. 2003. Pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Ciamis (Makalah seminar prospek pengembangan hutan rakyat di era otonomi daerah, 16 Desember 2003 di Cilacap).

Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2003. Kebijakan Social Forestry. Makalah Sosialisasi dan Penyusunan Rancangan Kerja Bersama Social Forestry Propinsi Jawa Barat Tahun 2003.Kuningan, 16-17 Oktober 2003.

Dishutbun Kabupaten Tasikmalaya. 2004. Rehabilitasi Hutan dan Lahan dalam rangka perbaikan ekosistem DAS Citanduy Hulu.

Perum Perhutani Unit III Jawa Barat – Banten. 2003. Kemajuan Pelaksanaan Pengembangan PHBM di Jawa Barat. Makalah Sosialisasi dan Penyusunan Rancangan Kerja Bersama Social Forestry Propinsi Jawa Barat Tahun 2003.Kuningan, 16-17 Oktober 2003.

Purwanto,S. Andy Cahyono dan Dewi Retna Indrawati. 2003. Peranan Hutan Rakyat Dalam Rehabilitasi Lahan Kritis.BP2TP DAS IBB, Surakarta.




Post Top Ad

Your Ad Spot