Oleh:
Dedi Natawijaya
Dosen Fakultas Pertanian
Universitas Siliwangi Tasikmalaya
Abstrak
Salah satu
permasalahan utama dalam pola investasi hutan rakyat adalah masa menunggu hasil
dari proses investasi yang dilakukan. Para pelaku perlu mencari suatu pola
investasi yang cepat menghasilkan yang dirancang khusus untuk merespon
kebutuhan sumber pendapatan, terutama bagi masyarakat setempat dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Hal ini perlu mendapat perhatian serius, terutama dari
pihak swasta (melalui kemitraan bisnis) dan pemerintah (dengan kebijakan
subsidi dan bantuan modal usaha), sehingga mampu mengurangi resiko dari masalah
menunggu hasil investasi tersebut. Untuk mewujudkan tujuan tersebut , paling
tidak ada tiga pendekatan yang harus dirancang secara tepat sehingga mampu
menjawab tantangan tersebut. Ketiga pendekatan itu adalah (1) analisis manfaat
– biaya ekonomi dan finansial, (2). Analisis ekonomi lingkungan dan (3).
Analisis ekonomi partisipasi. Pada umumnya penjualan kayu sengon terbatas hanya
olahan sederhana yang berupa kayu palet atau kayu persegian. Belum ada variasi
produk olahan kayu yang lain yang dapat memberikan tambahan nilai jual bagi
petani. Petani lebih suka menjual kayu dalam bentuk gelondongan dengan system
borong kebun. Bahkan masih ditemukan adanya system penjualan dengan sistim ijon
yang sesungguhnya sangat merugikan pihak petani. Penentuan volume produksi
dilakukan oleh pembeli, akibatnya harga yang diterima petani jauh lebih murah.
Belum adanya kelembagaan seperti koperasi dalam melakukan penjualan,
mengakibatkan posisi tawar petani cukup rendah karena volume produk yang dijual
sangat terbatas.
Kata Kunci : hutan rakyat, kayu
sengon, produk olahan kayu
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Sengon (Paraserianthes falcataria) merupakan
tanaman yang sudah tersebar hampir di seluruh desa di Kabupaten Tasikmalaya dan
sudah dikenal baik oleh masyarakat. Tanaman ini sering merupakan
penghuni dominan di kebun atau hutan rakyat. Hal ini disebabkan karena tanaman
sengon selain tanaman yang tumbuh cepat di daerah tropis, juga fungsinya sangat
luas mulai dari sebagai bahan kertas (pulp) sampai untuk bahan bangunan dan
industri rumah tangga.
Kabupaten Tasikmalaya yang memiliki luas wilayah 256.335
ha, mempunyai luas kawasan hutan seluas 44.594,10 ha atau 17,39 % dari luas
wilayah serta luas hutan rakyat seluas 27.684,01 ha atau 10,79 % . Dengan
demikian jumlah prosentase luas hutan di Kabupaten Tasikmalaya mencapai 28,19
%, dan berdasarkan kebutuhan minimal (30 %)
prosentase tersebut masih kurang. Oleh karena itu hutan rakyat masih
harus ditingkatkan untuk mencapai kondisi ideal secara ekologis maupun
peningkatan ekonomi masysarakat.
Potensi beberapa komoditi kehutanan
yang dapat dikembangkan di Kabupaten Tasikmalaya antara lain adalah : (1) kayu, yang meliputi kayu jati ,
mahoni, pinus, sengon, suren, manglid, dan lain-lain; (2) bambu ; (3) rotan ; (4) lebah
madu ; (5) sutra alam; (6) tanaman rempah dan obat; dan (7) wisata
alam. Penyebaran masing-masing komoditi tersebut tidak merata dan sangat
tergantung pada sifat serta karakteristik wilayah setempat. Oleh karena itu
program-program jangka pendek harus diprioritaskan kepada komoditi yang
mempunyai tingkat penyebaran lebih luas di masyarakat. Salah satunya adalah
tanaman sengon/ albasiah (Paraserianthes falcataria).
Program pengembangan hutan rakyat merupakan program
prioritas Departemen Kehutanan saat ini yang tujuannya adalah meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan melestarikan hutan . Program tersebut sudah
dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu, dan berdasarkan pengamatan di
lapangan hampir 80 % hutan rakyat terdiri dari tanaman sengon dan selebihnya
adalah tanaman buah-buahan dan kayu lainnya.
Pengelolaan dan
pengembangan hutan rakyat harus mendapat perhatian penting dari pemerintah
karena merupakan suatu sistem pengelolaan hutan dengan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan kelestarian hutan guna
menjamin keberlanjutan manfaat ekonomi, ekologi dan sosial budaya antar
generasi.
Dalam jangka pendek, pengembangan hutan rakyat memang
bukan merupakan suatu investasi yang menguntungkan, namun perlu dicatat bahwa
program pengembangan hutan rakyat bukan merupakan investasi jangka pendek yang
mengandalkan keuntungan uang, tetapi merupakan suatu investasi publik jangka
panjang dengan mengemban dua tujuan utama, yaitu masyarakat sejahtera, dan
hutan lestari.
Salah satu permasalahan
utama dalam pola investasi hutan rakyat adalah masa menunggu hasil dari proses
investasi yang dilakukan. Para pelaku perlu mencari suatu pola investasi yang
cepat menghasilkan yang dirancang khusus untuk merespon kebutuhan sumber
pendapatan, terutama bagi masyarakat setempat dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Masyarakat lokal yang memiliki masalah seperti ini perlu
mendapat perhatian serius, terutama dari pihak swasta (melalui kemitraan
bisnis) dan pemerintah (dengan kebijakan subsidi dan bantuan modal usaha),
sehingga mampu mengurangi resiko dari masalah menunggu hasil investasi
tersebut.
Untuk
mewujudkan tujuan tersebut , yaitu masyarakat sejahtera dan hutan lestari tidak
mudah. Paling tidak ada tiga pendekatan yang harus dirancang secara tepat
sehingga mampu menjawab tantangan tersebut. Ketiga pendekatan itu adalah (1)
analisis manfaat – biaya ekonomi dan finansial, (2). Analisis ekonomi
lingkungan dan (3). Analisis ekonomi partisipasi (David dan Richards, 1999).
Analisis
manfaat-biaya ekonomi dan finansial telah digunakan di negara berkembang sejak
tahun 1960-an yang hanya membahas nilai kerugian dan keuntungan secara nominal
dan konvensional, dengan tidak memasukkan biaya eksternalitas sosial dan
lingkungan dalam perhitungan tersebut. Akibatnya para pengambil kebijakan hanya
terpukau dengan angka keuntungan saja, sementara kerusakan akibat banjir,
longsor, kekeringan dan lain-lain dianggap suatu fenomena alam yang terlepas
dari keputusan yang telah diambil.
Analisis
ekonomi lingkungan telah dipraktekan sejak tahun 1980-an dengan melakukan
perluasan ruang analisis dengan mendorong suatu pemahaman dan penilaian
menyeluruh terhadap manfaat dan biaya suatu kawasan hutan tertentu (full
opportunity costs of a change in land use). Pendekatan metodologi ini
menghitung biaya-biaya lingkungan dan manfaat yang hilang yang biasanya
dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sebagai akibat dari suatu perubahan kawasan
hutan menjadi non hutan dengan merespon penilaian ekonomi terhadap manfaat
langsung dan tidak langsung dari suatu kawasan hutan.
Pendekatan
ekonomi partisipasi hadir untuk merespon keterbatasan kedua pendekatan
terdahulu dengan menitik beratkan pada aspek distribusi dan sosial, yang
merupakan kunci penting dalam membangun dan memperkuat proses partisipasi
masyarakat. Melalui pendekatan ini membuka kesempatan luas bagi masyarakat
untuk dapat mengetahui, memahami, dan menganalisis sumber daya yang dimilikinya
sebagai dasar dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan.
Ketiga
pendekatan metode tersebut di atas sangat perlu dilakukan secara menyeluruh
untuk menghindari kekeliruan jastifikasi dengan hanya mengandalkan satu
pendekatan saja. Melalui pertimbangan tersebut, diharapkan pola investasi pada
hutan rakyat dapat mendemonstrasikan tingkat efektivitas dan efisiensi ekonomi,
ekologi, dan sosial yang wajar dalam pembangunan kehutanan.
Dengan
memperhatikan berbagai aspek seperti aspek ekonomi, sosial, ekologi, pasar,
teknis lapangan dan kondisi masing-masing lokasi yang ada di Kabupaten
Tasikmalaya, maka dilakukan penyusunan swot analisis sub sektor kehutanan yang
kemudian dipersempit lagi ke swot analisis untuk satu komoditi sengon.
Berdasarkan analisis-analisis tersebut sampai pada suatu penetapan pilot projek
yang berupa pemberdayaan koperasi dan pengembangan taanaman sengon di wilayah
Kabupaten Tasikmalaya.
B. Tujuan
1.
Meningkatkan nilai tambah
petani melalui perbaikan sistem pengelolaan hutan rakyat yang lebih produktif
serta meningkatkan posisi tawar petani dalam menjual hasil kayu melalui
koperasi.
2. Meningkatkan keterampilan dalam mencari
variasi produk berbahan baku kayu, sehingga memiliki nilai jual yang lebih
tinggi.
3. Membangun koordinasi yang baik berbagai
instansi terkait yang menunjang kegiatan usaha di bidang perkayuan seperti
kooperasi, lembaga keuangan daerah, Pemerintah
Daerah, pihak swasta,LSM dan masyarakat secara partisipatif.
4. Memperluas wawasan petani dalam memahami
persoalan teknis pemanfaatan lahan yang efektif, teknik pemilihan komoditi
tanaman, dan teknik budidayanya.
5. Memberdayakan koperasi hutan rakyat melalui
peningkatan kreativitas dan keterampilan managerial.
C. Peluang dan Analisis Permasalahan
Berdasarkan hasil analisis swot
terhadap komoditi kayu khususnya sengon, maka dapat dilihat beberapa
alasan yang mendukung terhadap
diperlukannya master plan pengembangan usaha perkayuan antara lain :
1. Kayu albasiah selain umurnya relatif
singkat, juga pemasarannya sangat mudah.
2. Teknis budidaya sudah dapat dikuasai
petani pada umumnya.
3. Tipe perakaran yang cukup dalam sehingga
mampu menarik hara yang berada pada tanah yang lebih dalam .
4. Penggunaan kayu sangat bervariasi,
sehingga masih memungkinkan untuk dicari alternatif variasi lainnya yang belum
dilakukan petani.
5. Peluang ekspor sangat terbuka, seperti ke
negara-negara Asia, Eropa dan lain-lain.
6. Berbagai jenis produk olahan kayu dapat
dijual baik lokal maupun nasional.
Adapun
beberapa permasalahan umum yan ditemukan di on-farm antara lain : (1). kualitas
bibit masih rendah, (2). kesulitan memperoleh bibit pada saat tanam (musim
hujan) untuk beberapa lokasi tertentu, (3). petani umumnya tidak melakukan
pemeliharaan intensif terhadap tanaman kayunya, kecuali hanya memelihara
tanaman semusim yang ada di sekitarnya. Pada proses pemasaran, beberapa
permasalahan teridentifikasi antara lain : (1) produk yang dijual hanya berupa
gelondongan atau olahan sederhana, (2). sistem penjualan belum melalui asosiasi
atau kelembagaan koperasi , yang mengakibatkan harga di tingkat petani tidak
memiliki standar yang tetap, (3) belum tersedia insentif permodalan yang mudah
dari pihak pemerintah bagi usaha perkayuan.
Pengembangan
tanaman sengon sebenarnya cukup potensial untuk dikembangkan, hal ini terbukti dari beberapa hasil
penelitian yang telah dilakukan di beberapa daerah lain ternyata pengembangan hutan rakyat secara
ekonomi dapat meningkatkan pendapatan petani di Maros Sulawesi 7,61 %, di
Wonosobo dan Blitar 27,9 %, di Sulawesi selatan 24,95 %, dan di Kabupaten Gowa
27,34 % (Purwanto dkk., 2003).
Hasil
kajian kelayakan finansial dari tanaman sengon di beberapa tempat dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil perhitungan kelayakan finansial
tanaman sengon di beberapa lokasi
No
|
Lokasi
|
BCR
|
IRR
|
NPV
(Rp.)
|
1
|
HR
Cempaka Kab. Minahasa (Sulut)
|
13,98
|
29,47 %
|
77.697.000
|
2
|
HR di Kab. Maros
(Sulsel)
|
3,59
|
53,51 %
|
6.392.526
|
3
|
HR Malino Kab. Gowa
|
1,15
|
30,12 %
|
5.027.643
|
4
|
HR di Kab. Banjarnegara
|
-
|
-
|
11.049.050
|
Data
yang diperoleh dari lapangan tentang harga penjualan ternyata menunjukkan
variasi yang tinggi. Hal ini disebabkan karena tingkat urgensi kebutuhan petani
(misalnya kebutuhan yang sangat mendesak), lokasi kebun dan jarak dari jalan
raya, serta kemampuan petani dalam negosiasi harga dengan pembeli. Dengan
demikian maka gambaran harga yang ada adalah merupakan rerata atau indeks yang
berlaku pada setiap level pelaku pasar.
Pada Tabel 2. disajikan contoh indeks harga kayu sengon di beberapa
lokasi.
Outflow
merupakan biaya yang dikeluarkan per m3 yang terdiri dari biaya
pembelian pohon, biaya tebang, biaya angkut, biaya pengolahan dari log ke kayu
gergajian. Taksiran di lapangan rendemen kayu gergajian mencapai 60 %. Inflow
meliputi harga jual kayu dan penjualan sebetan kayu bakar yang rata-rata (Rp.
12.000,- / m3)
Tabel 2.
Sebaran indeks harga kayu rakyat jenis Albasia di beberapa kabupaten
Kabu-
paten
|
Petani
|
Pengepul
|
Penggergajian
|
Broker
|
Industri
|
||||
( per m3
)
|
( per m3
)
|
( per m3
)
|
( per m3
)
|
||||||
Tasik-
malaya
|
Diameter
|
Rp
|
outflow
|
inflow
|
outflow
|
inflow
|
outflow
|
inflow
|
|
10-15
|
100.000
|
200.000
|
240.000
|
250.000
|
275.000
|
275.000
|
300.000
|
Tgt. negara tujuan ekspor
|
|
15-19
|
120.000
|
|
|
|
|
|
|
||
>
|
180.000
|
|
|
|
|
|
|
||
Cilacap
|
10-15
|
90.000
|
20.0000
|
230.000
|
240.000
|
275.000
|
275.000
|
285.000
|
|
15-19
|
120.000
|
|
|
|
|
|
|
||
>
|
175.000
|
|
|
|
|
|
|
||
|
10-15
|
|
|
|
|
|
|
|
|
15-19
|
|
|
|
|
|
|
|
||
>
|
|
|
|
|
|
|
|
Alur
tata niaga kayu sengon dapat bervariasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya permodalan petani, pengetahuan petani tentang akses pasar, jarak
dari kebun dan lain-lain.
II.
KONDISI AKTUAL DAN STRATEGI PEMASARAN
A. Kondisi aktual
agribisnis sengon
Kabupaten
Tasikmalaya memiliki hutan rakyat seluas 27.684,01 ha. yang ditanami berbagai
jenis tanaman kayu. Namun pada umumnya populasi kayu didominasi oleh tanaman
sengon/ albasiah. Tanaman ini sudah memasyarakat hampir di seluruh pedesaan.
Demikian pula teknik bercocok tanamnya sudah dikuasai petani. Sayangnya
kualitas bibit sengon yang digunakan belum diperhatikan dengan baik, demikian
pula pemeliharaan, baik pemupukan maupun pemberantasan hama dan penyakit
tampaknya belum memasyarakat sehingga hasil masih kurang optimal. Selain hutan
rakyat , masih ada lagi lahan yang berpotensi untuk dikembangkan dengan tanaman
perkayuan yaitu dengan memanfaatkan lahan-lahan kritis yang mencapai luas
16.142 ha.
Berdasarkan
karakteristik, hutan rakyat pada umumnya
adalah hutan campuran. Jenis pohon dominan adalah sengon, yang lainnya
terdiri dari tanaman mahoni, afrika manglid, tisuk, suren dan buah-buahan. Pola
yang diterapkan pada umumnya adalah agroforestry. Selama ini, penjualan kayu
albasiah khususnya di Kabupaten Tasikmalaya tidak menjadi masalah karena
didukung oleh 159 unit pengolahan kayu yang tersebar di seluruh pedesaan. Namun
demikian pada umumnya pengolahan yang ada terbatas hanya olahan sederhana yang
berupa kayu palet atau kayu persegian. Belum ada variasi produk olahan kayu
yang lain yang dapat memberikan tambahan nilai jual bagi petani. Petani lebih
suka menjual kayu dalam bentuk gelondongan dengan sistim borong kebun. Bahkan
masih ditemukan adanya sistim penjualan dengan sistim ijon yang sesungguhnya
sangat merugikan pihak petani. Transaksi yang terjadi pada sistim penjualan
borongan yaitu tanaman yang akan dijual (dipilih atau di rad) ditaksir oleh
pihak pembeli, kemudian ditentukan harganya, dan setelah ada kesepakatan harga
dilanjutkan dengan pembayaran. Penentuan volume produksi dilakukan oleh
pembeli, akibatnya harga yang diterima petani jauh lebih murah.
Petani
belum tertarik untuk bergabung dalam suatu kelembagaan seperti koperasi dalam
melakukan penjualan. Akibatnya posisi tawar petani cukup rendah karena volume
produk yang dijual biasanya tidak terlalu banyak. Hal ini kemungkinan terjadi
salah satunya disebabkan karena kepemilikan lahan petani sangat kecil (hanya
rata-rata 0,25 ha) sehingga tidak mempunyai kekuatan atau daya tawar yang
tinggi.
Sebenarnya
kelembagaan dalam bentuk kelompok tani sudah relatif cukup banyak yaitu
mencapai 575 kelompok. Demikian pula sudah terbentuk koperasi komoditi kayu
sebanyak 13 koperasi yang tersebar di beberapa wilayah Kabupaten Tasikmalaya.
Namun keberadaan kelembagaan tersebut belum dapat mendongkrak kesejahteraan petani
hutan. Hal ini mungkin disebabkan karena kelembagaan tersebut belum bekerja
optimal bahkan mungkin belum berjalan sama sekali.
Keberadaan dan keaktipan tenaga penyuluh sangat
dibutuhkan dalam rangka merubah sikap petani terhadap proses pemasaran kayu
rakyat. Namun demikian hal ini tidak lepas dari kemampuan sumber daya manusia
yang selalu harus dinamis dan terus dikembangkan. Oleh karena itu peningkatan
kualitas sumber daya manusia juga merupakan program yang harus dilakukan
terutama yang berhubungan langsung dengan para petani di lapangan.
B. Strategi Pemasaran
Melalui
kegiatan yang direncanakan diharapkan adanya beberapa perubahan yang terjadi
pada sistim pengelolaan dan pengusahaan perhutanan rakyat saat ini. Dimulai
dari adanya perubahan sikap dan persepsi terhadap fungsi hutan yang mengemban
fungsi ekologis dan ekonomis. Selanjutnya perubahan sikap itu diikuti dengan
terjadinya perubahan sikap pada cara bercocok tanam khususnya kayu dengan
memperhatikan kualitas dan kuantitas serta bertujuan komersial.
Upaya
untuk memperbaiki kualitas tersebut juga tercermin dari adanya perubahan sikap
terhadap keinginan untuk memelihara dengan baik, seperti pemupukan,
pemberantasan hama dan penyakit.
Demikian pula adanya peningkatan dalam memahami tujuan konservasi,
penyesuaian lahan dengan peruntukannya sesuai dengan kondisi lahan, serta upaya
untuk mengoptimalkan lahan dengan variasi tanaman.
Dari
segi pengolahan produksi diharapkan adanya keinginan untuk menjual dalam bentuk
kayu yang diolah menjadi produk tertentu yang diarahkan oleh kelembagaan yang
dibangun, baik koperasi, perindag dan mitra lainnya. Ini tidak lain adalah
untuk tercapainya peningkatan nilai jual petani. Petani melalui kelompok yang
terbentuk atau bersama koperasi secara bersama sama membangun sistim pemasaran
yang dapat memberi kekuatan daya tawar petani sehingga kecenderungan
terbentuknya pasar oligopsoni dapat dihilangkan.
Dalam
hal penguatan kelembagaan yang terbentuk selain kelompok tani, juga dibentuk
koperasi sebagai lembaga yang dapat berfungsi membantu dalam beberapa aspek
seperti pemasaran, kontrol kualitas, inovasi produksi, penggalangan mitra kerja
sampai penjaminan dana usaha atau pemberian modal usaha untuk meperkuat posisi
petani dari kekuatan sistim ijon dan sejenisnya.
Keberadaan koperasi, terutama di daerah pedesaan sangat
dibutuhkan oleh masyarakat terutama
petani. Khusus untuk petani hutan di beberapa daerah telah terbentuk koperasi
yang bertujuan untuk memperkuat kelembagaan
yang dapat membantu meningkatkan petani hutan rakyat. Namun dalam
perkembangannya, semua bentuk koperasi ternyata banyak yang tidak berfungsi
secara efektif kecuali koperasi pegawai negeri.
Melihat keadaan luas hutan
rakyat yang diprediksi sekitar 27.684,01 ha, maka sesungguhnya koperasi hutan
rakyat harus berkembang dan dapat memberi nilai tambah yang dapat meningkatkan
kesejahteraan para petani. Jika setiap unit usaha koperasi berada pada luasan
500 ha, maka peluang terbentuknya koperasi hutan rakyat sekitar 55 unit. Namun
demikian koperasi yang ada saat ini hanya bergerak pada kegiatan simpan pinjam,
itupun dengan anggota yang sangat terbatas. Inilah salah satu persoalan
kelembagaan yang harus diperbaiki baik oleh pemerintah maupun pihak terkait
lainnya.
Strategi
pemasaran melalui asosiasi atau koperasi dapat memberi kekuatan daya tawar bagi
produsen sehingga dapat memberi nilai tambah penjualan. Pada umumnya petani
menjual kayu jumlahnya sedikit karena pemilikan luas lahan yang sempit,
akibatnya penentu harga berada pada pihak pedagang perantara. Namun sebaliknya jika petani tergabung dalam
sebuah asosiasi atau koperasi, maka penentu harga ada di asosiasi tersebut.
Berkaitan
dengan banyaknya unit pengolahan kayu yang homogen, ke depan diharapkan adanya
pembatasan unit pengolahan kayu. Dalam hal ini yang diharapkan munculnya
variasi unit pengolahan yang secara spesifik memproduksi / mengolah berbagai
jenis produk kayu olahan. Hal ini akan memberi peluang kepada petani untuk
memilih produk yang diinginkan. Ada keuntungan yang didapat dari terbatasnya
unit pengolahan yaitu secara tidak langsung memperlambat eksploitasi tanaman
kayu yang menjadi tujuan dalam sisi konservasi lingkungan.
III.
PELAKSANAAN PROGRAM
Program
yang diusulkan dalam rangka memperbaiki sistem usaha tani kayu albasiah meliputi
beberapa tahapan yaitu :
a.
Penyuluhan,
pelatihan dan studi banding.
b.
Pembuatan
kebun bibit desa (KBD) .
c.
Percontohan model hutan rakyat
.
d.
Pengembangan model kayu olahan.
e.
Pemberdayaan koperasi hutan
rakyat .
f.
Monitoring dan evaluasi
A. Penyuluhan, Pelatihan dan Studi Banding
Penyuluhan dan
pelatihan sangat penting artinya baik bagi petani, pengusaha perkayuan maupun
bagi penyuluh lapangan sendiri. Penyuluhan yang dilakukan diharapkan dapat
meningkatkan pemahaman tentang teknologi
budidaya tanaman kehutanan yang diarahkan kepada sistim pengembangan agribisnis
kehutanan yang efisien mulai dari hulu sampai hilir. Demikian pula dengan pelatihan dan studi banding diharapkan dapat
membuka wawasan para pelaku usaha di
bidang kehutanan, serta berdampak pada peningkatan kreativitas dan keakhlian
masing-masing dan pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Di
pihak lain, petani dan pelaku usaha lainnya juga harus memahami fungsi hutan
tidak hanya ditujukan untuk tujuan ekonomi tetapi harus memperhatikan
kepentingan ekologis dan sosial. Pada tahap ini para peserta akan mendapat
beberapa pemahaman secara teoritis dan
selanjutnya akan dicoba diperkenalkan pada kondisi yang lebih lebih
aplikatif pada tahap kegiatan berikutnya. Prediksi jadwal dan peserta serta
penanggung jawab pelaksana kegiatan direncanakan sebagai sebagaimana tertera
padaTabel 3.
Tabel. 3. Jadwal kegiatan penyuluhan, pelatihan dan studi banding
No
|
Jenis kegiatan
|
Lama pelaksanaan
|
Jumlah Peserta
|
Pelaksana/penanggungjawab
|
1
|
Penyuluhan petani
|
1 minggu
|
200 orang
|
PKL, Perindag, Dishutbun, UNSIL,Bapeda.
|
2
|
Pelatihan petani
|
4 hari
|
78 orang
|
Dishutbun, UNSIL, Perindag
|
3
|
Pelatihan penyuluh
|
2 hari
|
39 orang
|
Dishutbun, UNSIL, Perindag
|
4
|
Studi banding
|
3 hari
|
150 orang
|
Panitia
|
B. Pembuatan Kebun Bibit Desa (KBD)
Kebun
bibit desa (KBD) dibuat terbatas (6 lokasi) pada beberapa Kecamatan yaitu
Cisayong, Sodong Hilir, Salopa, Cikatomas, Cikalong, dan Sukaraja. Pemilihan
lokasi ini didasarkan pada jumlah luas lahan hutan rakyat yang lebih dari 1.000
ha.
Percontohan
pembibitan kayu meskipun sudah pernah dilakukan di beberapa lokasi desa, namun
masih perlu dilanjutkan terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat
pembibitan. Melalui perbaikan kualitas dan kuantitas bibit diharapkan para
petani memperoleh kualitas bibit yang baik serta relatif lebih murah dan mudah
mendapatkannya. Selain itu juga para petani diharapkan dapat lebih terampil
dalam penyediaan bibit dan tidak selalu tergantung kepada pihak lain/daerah
lain. Kegiatan percontohan ini juga diharapkan dapat ditiru oleh masyarakat
sekitarnya sehingga kendala ketersediaan bibit di lokasi tidak menjadi masalah
lagi. Jumlah unit kegiatan ini dapat diperluas seandainya pendanaan
memungkinkan .
C. Percontohan model hutan rakyat
Pembuatan
model hutan rakyat dilakukan dengan tujuan untuk memberi gambaran kepada
masyarakat tentang diperlukannya keterpaduan fungsi ekologis dan ekonomis.
Melalui pembuatan miniatur hutan rakyat (1–2 ha) dapat memberi contoh model
yang dapat dikembangkan di tempat-tempat lain.
Model hutan rakyat yang akan dikembangkan adalah yang memiliki tingkat
produktivitas tinggi dengan cara penetapan tanaman tahunan yang dikombinasikan
dengan berbagai tanaman lainnya sehingga hutan yang dikembangkan benar – benar
dapat memberi tambahan penghasilan petani selain dari kayunya juga dari tanaman
lainnya dengan tidak menghilangkan fungsi ekologis dan ekonomis. Pada model ini
kaidah konservasi tanah harus menjadi perhatian serius dengan memberi contoh
model yang disesuaikan dengan kondisi lahan setempat.
D. Pengembangan model kayu olahan
Pengembangan
model pengolahan kayu yang dimaksud disini adalah pengolahan yang dapat membuat
variasi produk dari kayu sehingga dapat memperluas pasar dan memberi nilai
tambah yang baik. Selama ini pengolahan yang ada di pedesaan terbatas hanya
pembuatan papan kayu atau kayu palet yang berupa persegian. Bahkan seringkali
petani lebih senang menjual kayu gelondongan karena lebih mudah dan cepat.
Dengan adanya pabrik pengolahan yang dapat membuat variasi produk tersebut diharapkan adanya variasi produk yang dapat
dibuat untuk meningkatkan pendapan para pelaku usaha perkayuan maupun petani,
misalnya produk berupa particle board, kerajinan tangan, batang korek api,
chopstick, berbagai profil kayu dan lain-lain.
Hal
yang akan menjadi prioritas dalam pengembangan pengolahan ini adalah
mengupayakan bagaimana agar pemilik pabrik pengolahan tersebut bukan milik
perorangan (pengusaha). Yang paling memungkinkan adalah harus menjadi milik
bersama misalnya koperasi/asosiasi/atau milik pemerintah setempat . Dengan
demikian maka produk kayu olahan tersebut dibuat dan dipasarkan melalui suatu
badan usaha yang dapat memberikan kekuatan daya tawar yang lebih tinggi. Dan
pada akhirnya petani ikut menikmati harga yang lebih tinggi dari hanya sekedar
menjual kayu gelondongan.
E. Pemberdayaan koperasi hutan rakyat
Koperasi
atau badan usaha tertentu harus dibuat dengan tujuan untuk melakukan upaya
terobosan baru dalam sistim tata niaga perkayuan yang ada saat ini. Koperasi
tersebut harus menjadi pelopor dalam mengembangkan kreasi variasi produk yang
disesuaikan dengan permintaan pasar. Dengan semangat kebersamaan dalam sebuah
wadah koperasi ini diharapkan para petani yang tergabung dalam anggota koperasi
selain lebih memiliki kekuatan dalam aspek daya tawar produk, juga dapat
mengantisipasi munculnya sistim penjualan dengan cara borong kebun atau sistim
ijon. Kekuatan lainnya yang dapat diharapkan dari koperasi ini adalah dapat
menjadi lembaga keuangan yang dapat membantu petani dalam kesulitan dana
sementara atau untuk permodalan terbatas.
F. Monitoring dan evaluasi
Monitoring
proses pengamatan data dan fakta yang pelaksanaanya dilakukan secara periodik
dan terus menerus terhadap masalah sbb. :
a.
Jalannya kegiatan.
b.
Penggunaan input.
c.
Hasil akibat kegiatan yang
dilaksanakan (output).
d.
Faktor
luar atau kendala yang mempengaruhinya.
Evaluasi kegiatan program pengembangan agribisnis kayu
sengon adalah proses pengamatan dan analisis data dan fakta yang pelaksanaanya
dilakukan menurut kepentingannya mulai dari penyusunan rencana program,
pelaksanaan program dan pengembangan program pengelolaan kayu sengon. Hasil
evaluasi pada pengembangan program akan berguna sebagai masukan bagi penyusunan rencana program dan
pengambilan keputusan pada tahapan berikutnya.
Untuk memproleh data dan informasi yang dapat memberikan gambaran
menyeluruh mengenai perkembangan program pengelolaan kayu sengon, maka
diperlukan kegiatan monitaroring dan evaluasi yang ditekankan pada aspek : 1) SDM, 2) Sarana produksi, 3) Pemodelan dan
4) Pengembangan kelembagaan.
IV.
PENUTUP
Rencana
kegiatan program pengembangan kayu sengon disusun mulai dari perencanaan sampai
pada monitoring dan evaluasi. Melalui penyusunan Rrencana kegiatan
program pengembangan kayu sengon diharapkan terjadi perubahan sikap, prilaku
dan kesejahteraan masyarakat petani perhutanan ke arah yang lebih baik.
Keunggulan
kayu albasiah selain umurnya relatif singkat, juga pemasarannya sangat mudah,
teknis budidaya sudah dapat dikuasai petani, tipe perakaran cukup dalam
sehingga mampu menarik hara yang berada pada tanah yang lebih dalam, penggunaan
kayu sangat bervariasi, peluang ekspor sangat terbuka, serta kayu dapat dijual
baik lokal ,nasional maupun internasional.
Penjualan
kayu dalam bentuk olahan dapat meningkatkan nilai jual petani, terutama jika
melalui kelompok atau koperasi membangun sistim pemasaran yang dapat memberi
kekuatan daya tawar petani sehingga kecenderungan terbentuknya pasar oligopsoni
dapat dihilangkan.
Dengan
semangat kebersamaan dalam sebuah wadah koperasi ini diharapkan para petani
yang tergabung dalam anggota koperasi selain lebih memiliki kekuatan dalam
aspek daya tawar produk, juga dapat mengantisipasi munculnya sistim penjualan
dengan cara borong kebun atau sistim ijon. Kekuatan lainnya yang dapat
diharapkan dari koperasi adalah dapat menjadi lembaga keuangan yang dapat
membantu petani dalam kesulitan dana sementara atau untuk permodalan terbatas.
Lampiran 1. Rancangan kegiatan pengembangan kayu sengon di Kab. Tasikmalaya.
No
|
Tahun ke
|
Jenis
kegiatan
|
Pihak
terkait
|
1
|
I
|
Melakukan penyuluhan,
pelatihan kepada beberapa kelompok tani dari berbagai lokasi yang ada di Kab.
Tasikmalaya, dan selanjutnya diakhiri dengan kegiatan studi banding ke lokasi
yang dianggap dapat menjadi contoh / atau lokasi yang sudah berhasil dalam
hal mengembangkan sestem hutan rakyat dan dalam usaha perkayuan.
|
Perg. Tinggi, Dishut
|
2
|
I
|
Pembuatan kebun bibit desa (KBD) di
beberapa lokasi / Desa yang lebih representatif dari segi kualitas dan
kuantitas.
|
Perg. Tinggi, Dishut.
|
3
|
II
|
Percontohan model hutan rakyat. Model
yang dibangun adalah model yang menggabungkan penanaman tanaman kayu dan
tanaman rempah / obat yang dapat memberi tambahan hasil bagi petani sepanjang
tahun. Pengaturan populasi tanaman diatur
sedemikian agar efektif dan lebih produktif.
|
Perg. Tinggi, Dishut.
|
4
|
III
|
Pengembangan model kayu olahan.
Pengolahan yang dibangun adalah yang
dapat membuat hasil olahan kayu multi fungsi seperti palet, profil,
chopstick, batang korek api, dll.
|
Perg. Tinggi, Dishut, Perindag.
|
5
|
III
|
Pemberdayaan koperasi / asosiasi para
pelaku usaha perkayuan berbasis masyarakat, bertujuan untuk membantu
penguatan kelembagaan yang dapat mengakses kualitas produksi, pemasaran dan
mengembangkan mitra bisnis.
|
Perindag, Dishut,
Perg. Tinggi, Dinas
Koperasi.
|
6
|
IV - V
|
Monitoring dan evaluasi
|
Dishut, Perindag, Perg.
Tinggi, LSM.
|
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Budiman. 2003. Kajian
tata niaga dan pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Cilacap. Loka Litbang Monsoon
Ciamis.
Anonim. 2002. Rencana
Strategis Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya.
BTP DAS Surakarta. 2002.
Pedoman monitoring dan evaluasi pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Dinas Kehutanan Kabupaten
Ciamis. 2003. Pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Ciamis (Makalah seminar
prospek pengembangan hutan rakyat di era otonomi daerah, 16 Desember 2003 di
Cilacap).
Direktorat Jenderal
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2003. Kebijakan Social Forestry. Makalah
Sosialisasi dan Penyusunan Rancangan Kerja Bersama Social Forestry Propinsi
Jawa Barat Tahun 2003.Kuningan, 16-17 Oktober 2003.
Dishutbun Kabupaten
Tasikmalaya. 2004. Rehabilitasi Hutan dan Lahan dalam rangka perbaikan
ekosistem DAS Citanduy Hulu.
Perum Perhutani Unit III
Jawa Barat – Banten. 2003. Kemajuan Pelaksanaan Pengembangan PHBM di Jawa
Barat. Makalah Sosialisasi dan Penyusunan Rancangan Kerja Bersama Social
Forestry Propinsi Jawa Barat Tahun 2003.Kuningan, 16-17 Oktober 2003.
Purwanto,S.
Andy Cahyono dan Dewi Retna Indrawati. 2003. Peranan Hutan Rakyat Dalam Rehabilitasi
Lahan Kritis.BP2TP DAS IBB, Surakarta.