investasi pohon

investasi pohon

Blog investasi pohon - Blog yang menguraikan mengenai pohon/kayu dalam kerangka hutan rakyat dengan berbagai hal mulai dari investasi, produksi dan pemasaran serta kelembagaannya

Post Top Ad

Post Top Ad

Monday, April 23, 2018

Budidaya Jahe

2:52:00 PM
Jahe adalah  salah satu komoditi tanaman obat yang bisa  di budidayakan di bawah tegakan tanaman. Tanaman jahe dapat dibudidayakan baik di lahan terbuka maupun di bawah tegakan tanaman. Jahe juga dapat dibudidayakan baik di lahan sawah, kebon maupun di lahan pekarangan. Pada lahan darat/kebon sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan dari suatu lahan yang sudah terdapat tanaman kayunya maka jahe bisa menjadi alternatif untuk dikembangkan.
Jahe dapat menjadi pilihan untuk mengisi tanaman bawah tegakan karena beberapa faktor, yaitu budidayanya mudah, bibit gampang diperoleh, mudah dalam penjualan.

Budidaya Mudah
Budidaya jahe relatif mudah tidak memerlukan perlakuan yang khusus, tetapi  untuk mendapatkan hasil panen yang optimal harus diperhatikan syarat-syarat tumbuh yang dibutuhkan tanaman jahe. Bila keasaman tanah yang ada tidak sesuai dengan keasaman tanah yang dibutuhkan tanaman jahe, maka harus ditambah atau dikurangi keasaman dengan kapur.
Budidaya jahe secara sederhana bisa diuraikan sebagai berikut;
1. Pengolahan tanah
Tanah harus gembur untuk itu dilaksanakan pembajakan sedalam kurang lebih dari 30 cm dengan tujuan untuk mendapatkan kondisi tanah yang gembur atau remah dan membersihkan tanaman pengganggu. Jika pada lahan dibawah tegakan maka dapat dilakukan dengan mencangkul. Setelah itu tanah dibiarkan 2-4 minggu agar gas-gas beracun menguap serta bibit penyakit dan hama akan mati terkena sinar matahari. Apabila pada pengolahan tanah pertama dirasakan belum juga gembur, maka dapat dilakukan pengolahan tanah yang kedua sekitar 2-3 minggu sebelum tanam dan sekaligus diberikan pupuk kandang dengan dosis 1.500-2.500 kg. (BP3K Kec. Jatinagara Kab. Ciamis)
2. Bedengan
Bedengan diperlukan jika lahan yang akan digunakan untuk penanaman jahe mempunyai tingkat kelembaban yang tinggi atau dimungkinkan terhadi genangan air. Bedengan ini dilakukan untuk menghindari pembusukan jahe karena kerendam air. Bedengan-bedengan dibuat dengan ukuran tinggi 20-30 cm, lebar 80-100 cm, sedangkan anjangnya disesuaikan dengan kondisi lahan.
    3. Pengapuran
Pada tanah dengan pH rendah, sebagian besar unsur-unsur hara didalamnya, Terutama fosfor (p) dan calcium (Ca) dalam keadaan tidak tersedia atau sulit diserap. Kondisi tanah yang masam ini dapat menjadi media perkembangan beberapa cendawan penyebab penyakit fusarium sp dan pythium sp. Pengapuran juga berfungsi menambah unsur kalium yang sangat diperlukan tanaman untuk mengeraskan bagian tanaman yang berkayu, merangsang pembentukan bulu-bulu akar, mempertebal dinding sel buah dan merangsang pembentukan biji. (BP3K Kec. Jatinagara Kab. Ciamis)
4. Penanaman
Cara penanaman dilakukan dengan cara melekatkan bibit rimpang secara rebah ke dalam lubang tanam atau alur yang sudah disiapkan.





Bibit Mudah diperoleh
Pada saat ini bibit jahe sangat mudah untuk diperoleh bahkan pada beberapa daerah jika akan melaksankaan penanaman jahe bibit bisa minta ke sesame petani. Jika harus membeli bibit jahe mudah didapatkan.

Mudah dalam penjualan
Produk – produk pertanian pada saat ini dalam hal penjualan hasil tidak mengalami kendala karena banyak Bandar baik bandar tanaman kayu, Bandar tanaman buah, Bandar tanaman obat banyak yang keliling mencari bahan baku dari petani. Oleh karena itu dalam hal penjualan produk budidaya jahe tidak mengalami kendala.

Berbagai kelebihan tersebut sangatlah cocok jika jahe menjadi alternatif pilihan untuk dibudidayakan baik pada lahan terbuka maupun pada lahan di bawah tegakan.

Read More

Tehnik Pengambilan Spora Pada Tanaman Ketak

9:07:00 AM
Pengantar
Ketak dalam bahasa latinnya Lygodium circinnatum (Burm.f) Sw. adalah tumbuhan paku merambat (Schizaeaeceae) yang panjangnya dapat mencapai 10 m dan diameter batang 2-5 mm. Bentuk daunnya menjari 2-5 dengan tepi daun bergerigi, pada permukaan bawahnya terdapat sporangium. Jenis ini memiliki rimpang pendek kurang dari 10 cm, sedikit berdaging dan menjalar di dalam tanah. Secara umum Lygodium mempunyai akar yang merayap, berambut tapi tidak bersisik, daun-daunnya monostichous, melilit dan pertumbuhannya tidak dapat didefinisikan. Rantingnya tidak panjang, ranting primernya pendek, ujungnya terhenti dan ditutupi oleh rambut dan setiap ujungnya terdapat sepasang ranting sekunder.



Gambar Tanaman Ketak Lygodium circinnatum (Burm.f) Sw

Kegunaan/Manfaat Tanaman
Ketak digunakan sebagai bahan baku pembuatan kerajinan anyam-anyaman yang mempunyai komoditas dengan nilai seni dan ekonomi yang tinggi. Pulau Lombok menjadi pusat kerajinan ketak dan untuk Jawa Barat berada di Kp. Citumang Kab. Pangandaran.

Budidaya
Tanaman ketak tumbuh secara alami baik di hutan alam maupun di kebun rakyat. Ketak menjadi pilihan salah satu jenis HHBK yang dikembangkan di KPHL Rinjani Barat dan untuk di kebun rakyat ketak tumbuh secara alami di daerah selatan Jawa Barat (Citumang dan sekitarnya.
Perbanyakan ketak dapat dilakukan dengan metode rimpang/stek rimpang  dan melalui persemaian dengan memanfaatkan spora yang terdapat pada daun ketak.

Prosedur Pengambilan/Pemisahan Spora Pada Tanaman Ketak

1. Pemilihan dan Pengambilan Spora dari Tanaman
Spora pada tanaman ketak diperoleh jika tanaman ketak itu sudah tua. Ciri ciri yang kasat mata dan mudah di lihat yaitu terletak pada daun ketak. Daun ketak yang kriting bisanya sudah terdapat spora. 
Seperti gambar dibawah ini;


Keterangan : Pengambilan daun yang sudah ada spora tidak disarankan yang sudah terlalu kering karena dikuatirkan sporanya sudah pada jatuh.

2. Pembungkusan Daun Spora
Daun spora yang diperoleh dari kebun/hutan di masukan ke dalam kantong yang terbuat dari koran dengan menutup 4 sisinya. Penutupan semua sisi dengan tujuan agar spora tidak berhaburan pada saat kegiatan pengangkatan dan penjemuran.



3. Penjemuran Daun Spora
Daun spora yang sudah di masukan kedalam kantong yang terbuat dari koran selanjutnya dilakukan pengeringan dengan menjemur terkena sinar matahari secara langsung sekitar 2-3 hari. 
Kegiatan penjemuran ini bertujuan untuk mengiringkan daun spora sehingga sporanya bisa lepas.    




4. Perontokan/Pemisahan Spora dari Daunnya
Daun spora yang sudah kering, dilakukan peremasan dengan tetap daun spora berada di dalam kantong koran sehingga spora tidak bertebaran kemana-mana. Pemisahan spora dilakukan dengan cara menyaring daun spora yang sudah kering dari dalam kantong koran dengan menggunakan penyaring yang sangat lembut. Kegiatan penyaringan ini untuk memisahkan spora dari  daun dan kotoranya lainnya.




                       (4.a. Alat Penyaringan)    


                                      (4.b. Kegiatan Penyaringan)


(4.c. Spora Hasil Penyaringan)  
                   
Keterangan :  Kegiatan penyaringan harus di laksanakan di dalam ruangan karena jika penyaringan dilakukan di luar ruangan maka spora akan terbang terkena angin.

5. Penyimpanan  Spora
Spora hasil penyaringan sebagaimana gambar (4.c) selanjutnya dilakukan penyimpanan dengan cara dimasukan ke dalam botol diberi label dan di simpan ke dalam kulkas.




Keterangan : Kegiatan penyimpanan harus dilaksanakan di dalam kulkas, karena jika di simpan dalam suhu ruangan maka spora akan mati dan tidak bisa disemai.






Read More

Thursday, April 19, 2018

PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DI KAB. WONOSOBO (Studi Kasus di Desa Sukorejo Kec. Mojotengah)

11:25:00 AM
I. Pendahuluan
Kegiatan pengembangan hutan rakyat di Propinsi Jawa Tengah berdasarkan pendanaanya dapat digolongkan menjadi 3 macam yaitu hutan rakyat subsidi, hutan rakyat pola kemitraan dan hutan rakyat swadaya. Hutan rakyat subsidi adalah hutan rakyat yang dibangun pada tanah milik dengan biaya sebagian atau seluruhnya dari pemerintah, umumnya dikembangkan di daerah hulu DAS (Inpres Penghijauan, Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan/GNRHL). Hutan rakyat pola kemitraan adalah hutan rakyat yang dikembangkan oleh petani/kelompok tani hutan rakyat yang bekerja sama dengan industri pengolah kayu secara notariat yang difasilitasi oleh Pemerintah Propinsi maupun Kabupaten dan hutan rakyat swadaya adalah hutan rakyat yang dibangun oleh masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pendanaannya oleh masyarakat sendiri, umumnya hutan rakyat dibangun oleh para petani yang mempunyai lahan yang cukup dan jenis tanaman yang diusahakan sudah berorientasi pada pasar.
Hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo dirintis dan dikembangkan sejak tahun 1970 yang dapat dikatagorikan sebagai salah satu contoh hutan rakyat swadaya yang berhasil, dimana sampai dengan tahun 2001 sudah mencapai seluas 19.473 ha dengan potensi tegakan sebesar 827.639,93 m3 yang tersebar pada 13 kecamatan.
Dengan pengalamannya yang genap 35 tahun hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo secara umum tetap stabil dan berkembang karena tingkat kesadaran masyarakatnya sudah tinggi dan sudah merasakan hasilnya karena umumnya pengelolaan hutan rakyatnya dilaksanakan secara tumpangsari dengan beranggapan bahwa tanaman kayu sebagai tabungan pada saat akhir daur. Pola tumpangsari juga menjadi pilihan guna mengatasi masalah sempitnya lahan garapan. Pola tumpangsari yang dilaksanakan di Kabupaten Wonosobo tidak hanya satu pola tetapi lebih bervariasi walaupun masih dalam satu hamparan. Jenis tanaman yang bervariasi pada pola tumpangsari dalam membangun hutan rakyat dilaksanakan salah satunya di Desa Sukorejo Kecamatan Mojotengah. Oleh karena itu pola yang dikembangkan di desa tersebut dapat dijadikan sebagai salah acuan untuk pengembangan hutan rakyat di daeah lain.





 II. Maksud dan Tujuan
Kegiatan penelitian dilaksanakan untuk mengetahui berbagai pola pengembangan hutan rakyat di Desa Sukorejo beserta analisa pendapatannya, sehingga dapat dijadikan sebagai sebagai salah satu bahan acuan bagi daerah yang lain dalam pengembangan hutan rakyat.

III. Metode Pengumpulan dan Analisa Data
Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan secara sengaja (purposive sampling) pada tingkat kecamatan dan desa, sedangkan pemilihan responden dilaksanakan pada key person dan dipilih secara bebas. 
Pengumpulan data primer dan sekunder dilaksanakan dengan cara sebagai berikut;
1.    Pengumpulan data primer, dengan cara;
a.    Teknik observasi
Data dikumpulkan dengan mengadakan pengamatan terhadap objek yang diteliti, baik pada rumah tangga petani maupun keadaan lapangan.
b.    Teknik wawancara
Data dikumpulkan dengan melakukan tanya jawab secara langsung terhadap petani responden atau petani pengelola hutan rakyat, pimpinan formal desa. Wawancara dilakukan dengan cara wawancara terstruktur maupun wawancara bebas. Wawancara terstruktur dilakukan dengan menggunakan daftar kuisioner yang telah disiapkan, sedangkan wawancara bebas dilakukan tanpa kuisioner mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penelitian.
2.    Pengumpulan data sekunder yang mendukung penelitian dengan pengutipan dan pencatatan data dari kantor desa, kecamatan, instansi terkait dan BPS setempat.
Data primer hasil wawancara dilaksanakan analisa deskriptif dan hitungan pendapatan secara sederhana.


IV. Keadaan Umum Lokasi
A. Kabupaten Wonosobo
Kabupaten Wonosobo terletak antara 7o 11’ dan 7o 36’ Ls dan 109o43’ dan 110o04’ BJ dengan ketinggian antara 270 -  2.250 m dpl dengan suhu udara berkisar antara 24 – 30o C pada siang hari dan 20o C pada malam hari. Secara administrasi Kabupaten Wonosobo  terbagi menjadi 14 kecamatan 36 desa dan 28 kelurahan.
Luas Kabupaten Wonosobo 98.467.965 ha yang terdiri dari 18.564,21 ha (18,9%) sawah dan 79.903,9 ha (81,1%) lahan kering.









































































































































B. Kecamatan Mojotengah (Desa Sukorejo)
Desa Sukorejo terletak pada ketinggian 800 – 900 m dpl dan jenis tanah andosol yang terbagi atas penggunaan lahanya menjadi;
- sawah            ; 30 ha
- tanah darat/perkebunan    : 79 ha
- pekarangan        ; 6,5 ha
- lain-lain            ; 1,5 ha



V. Hasil dan Pembahasan
Dari hasil wawancara yang dilaksanakan terhadap key person dan responden terpilih pengelolaan hutan rakyat di Desa Sukorejo dapat dibagi dalam dua aspek yaitu aspek budidaya hutan rakyat dan analisa biaya pengusahaan hutan rakyat.
A. Budidaya Hutan Rakyat
1. Sejarah Pembangunan Hutan Rakyat di Desa Sukorejo
Sebelum tahun 1975 pola tani lahan kering di Desa Sukorejo sama dengan masyarakat Indonesia pada umumnya yaitu dengan membudidayakan tanaman palawija yang didominasi jenis singkong. Pola tanam tersebut sudah berjalan berpuluh-puluh tahun sehingga pada awal 1975 dirasakan dampaknya yaitu dengan banyaknya lahan yang kurang subur dan lahan yang rusak karena tanaman singkong merupakan tanaman yang rakus hara. Disamping itu dampak yang dirasakan berupa kurangnya bahan bangunan (mendatangkan dari daerah lain) dan sumber air sangat sulit (sumur kedalaman 15-20 m belum mendapat air).
Dengan kondisi tersebut tokoh masyarakat berinisiatif untuk menyuburkan tanah, menjamin kelangsungan air, menyiambangkan lingkungan    tidak ada pilihan lain selain tanaman kayu dan yang menjadi pilihan adalah albazia karena potensi yang pada waktu itu sebagai peninggalan generasi sebelumnya.
Pada awal pengembangannya bibit tanaman albazia berasal dari biji alami dan setelah lima tahun berjalan dimana hasilnya sudah dirasakan baik manfaat ekonomi maupun perubahan lingkungan, sehingga usaha tani hutan rakyat perkembang pesat. Berkembangnya hutan rakyat yang sangat pesat tersebut didengar oleh penyuluh sehingga dianjurkan dibentuk kelompok tani.

2.  Pengadaan Bibit Tanaman
Dari awal terbentuknya hutan rakyat dan sampai sekarang masyarakat Desa Sukorejo membudidayakan tanaman albazia  masih berasal dari tanaman yang tumbuh alami dari tanaman yang sudah ada, bahkan kelompok tani sudah mempunyai persemaian permanen yang mengexpor bibit sengon keluar daerah.
Semai yang tumbuh alami dipindahkan dan diatur sesuai dengan jarak tanam yang diinginkan. Pengaturan bibit yang tumbuh secara alami dalam membangun hutan rakyat secara umum juga dilaksanakan dan dikembangkan didaerah lain. Budidaya hutan rakyat dengan menggunakan bibit yang tumbuh alami mempunyai  kelebihan  diantaranya yaitu; 1). sudah sesuai/cocok dengan agroklimat setempat, sehingga faktor tumbuhnya tinggi, dan 2). tahan uji karena sudah terbukti dari pohon induknya, 3). efisien dalam pekerjaannya karena faktor pembelian bibit tidak ada dan faktor bibit lebih dekat ke tempat penanaman.

3. Pola Tanam
Pelaksanaan penanaman kayu yang genap 30 tahun sudah dilaksanakan dan dipraktekan berbagai pola dan tehnik dalam pengembangan hutan rakyat oleh masyarakat Desa Sukorejo. Pada akhirnya secara umum pengelolaan hutan rakyat dikembangkan dengan pola tumpangsari yang dapat dikelompokan menjadi 4 (empat) pola yaitu;
1.    Tanaman kayu dengan tanaman kopi.
2.    Tanaman kayu dengan tanaman singkong.
3.    Tanaman kayu dengan kapulaga.
4.    Tanaman kayu, kopi dan kapulaga.
Dari empat pola tanam tumpangsari tersebut jenis tanaman bawahnya dibudidayakan sampai akhir daur tanaman kayu kecuali singkong yang hanya sampai umur 2 tahun untuk tanaman kayunya. Dari keempat pola yang dibudidayakan di Desa Sukorejo didominasi oleh pola tanam; tanaman kayu (jarak tanaman rata-rata 2 x 3 m) dengan tanaman kopi (jarak tanam rata-rata 1 x1 m ).  

4. Pemeliharaan
Secara umum masyarakat di Desa Sukorejo kegiatan pemeliharaan terhadap tanaman kayu-kayaun dilakukan bersamaan dengan tanaman tumpangsarinya mulai dari pembersihan lahan, pembersihan cabang dan pemupukan. Dari hasil wawancara diperoleh data bahwa secara umum serangan hama penyakit terhadap tanaman kayu-kayuan dapat diminimalisir karena pola tanam yang bervariasi.

5. Pamenan dan Pemasaran.
Kondisi hutan rakyat yang cukup potensial dan dalam jumlah yang besar maka banyak pengusaha yang mendirikan industri penggergajian kayu di Desa Sukorejo. Kondisi ini mempermudah dan memperlancar petani dalam penjualan kayu dari hutan rakyat. Namun sayangnya secara umum masyarakat masih mejual kayu dalam bentuk kayu berdiri dan dengan sistem borongan, karena penjualan kayu dilaksanakan dalam jumlah kayu yang relatif sedikit yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya pada saat itu (contohnya untuk biaya sekolah dll).

B. Pendapatan Usahatani Hutan Rakyat
Pendapatan terhadap pengelolaan hutan rakyat di Desa Sukorejo Kecamatan Mojotengah dihitung dalam dua tahap yaitu penghitungan pendapatan per jenis tanaman dan pendapatan pola tumpangsari (gabungan dari pendapatan per jenis tanaman).

1. Pendapatan usahatani hutan rakyat per jenis komoditi.
1. Pendapatan Komoditi Tanaman Kayu
Tanaman kayu yang dominan dibudidayakan oleh masyarakat di Desa Sukorejo adalah jenis albisia dengan jarak tanam rata-rata 3 x 4 m.
Potensi tegakan Berdasarkan hasil pengukuran terhadap sampel tegakan albasia sebanyak 12 pohon albazia umur 5 tahun yang dipilih secara bebas hasilnya sebagai berikut;
Tabel 2, Potensi Tegakan



































































































Dengan data tersebut maka akan diperoleh perkiraan pendapatan yang akan dihasilkan dari tegakan albasia yaitu
- Jarak tanam rata-rata        : 3 x 4 m
    - Potensi tegakan        : 830 btg/ha
    - Volume 1 pohon umur 5 th    : 0,27 m3
    - Volume tegakan total    : 830 x 0,27 = 226,59 m3/ha
    - Pendapatan (harga asumsi di pemborong 80.000,-/m3 tegakan berdiri)
                       : 226,59 x 80.000,-/5  = Rp. 3.624.440,-/ha/th
2. Tanaman kapulaga
Tanaman kapulaga sebagai tanaman bawah yang dibudayakan sampai masa tebang untuk tanaman kayu.
Adapun pendapatan yang diperoleh dari komoditi kapulaga yaitu;
- Periode panen per 40 hari sekali (± 8 kali/th)
- Sekali panen rata-rata : 80 kg/ha
- Volume panen 80 x 8 : 640 kg
- Pendapatan 640 kg x Rp. 5000,- : Rp. 3.200.000,-/th

3. Palawija (singkong).
Di Desa Sukorejo Kecamatan Mojotengah Kab. Wonosobo dalam satu hamparan pengelolaan hutan rakyat potret variasi jenis tanaman sangat jelas karena posisi hutan rakyat yang berdampingan. Kondisi ini terjadi karena pada satu hamparan kebun terdiri dari banyak pemilik lahan, sehingga berdampak pada variasi jenis tanaman. Variasi jenis tanaman tersebut salah satunya masih banyak petani yang membudidayakan komoditi palawija berupa tanaman singkong, meskipun dari aspek konservasi terhadap kesuburan tanah kurang mendukung.
Pendapatan dari komoditi singkong sebagai berikut;
- Panen sekali dalam setahun
- Hasil rata-rata : 3.600 kg/ha/th
- Hasil : 3.600 kg x Rp. 250,- : Rp. 900.000,-/th

4. Kopi
Pengalaman usahatani hutan rakyat yang cukup lama memperkaya pengetahuan dan pengalaman dalam memilih dan membudidayakan komoditi tanaman sebagai tanaman pengisi pada pengelolaan hutan rakyat yang didominasi jenis albasia. Komoditi kopi memdominasi jenis tanaman yang dibudidayakan oleh petani, karena beberapa hal; pasar yang sudah jelas, harga yang stabil, tehnologi budidayanya sudah terkuasai, dan dari aspek konservasi sangat mendukung terhadap kelestarian lingkungan. Komoditi kopi sebagai strata kedua dibawah sengon sangat dominan dibudidayakan oleh masyarakat di Desa Sukerejo.
Perkiraan pendapatan yang dapat diperoleh dari tanaman kopi sebagai berikut;
- Panen pertama pada saat tanaman kopi berumur 3 th.
- Hasil panen perdana : 600 kg/ha/th
- Hasil yang diperoleh :  600 kg x Rp. 5.500,- : Rp. 3.300.000,-
- Pendapatan per tahun : 3.300.000/3 : 1.100.000,-/ha/th
Pendapatan tersebut dihitung dari panen perdana setelah tahun ke-3, pada kenyataannya hasil panen kopi mempunyai grafik naik, yaitu semakin tambah usia tanaman kopi akan memperoleh hasil panen yang meningkat.

2. Pendapatan hasil pola tumpangsari
Pendatan hasil dari pola tumpangsari dihitung dengan menggabungkan pendapatan dari komoditi tiap jenis tanaman. Secara umum di Desa Sukeroje Kec. Mojotengah budidaya  hutan rakyat dapat dikelompokan menjadi 4 pola yaitu;
1.    Tanaman kayu dengan tanaman kopi.
2.    Tanaman kayu dengan tanaman singkong.
3.    Tanaman kayu dengan kapulaga.
4.    Tanaman kayu, kopi dan kapulaga.
Berbagai pola tersebut memberikan hasil yang berbeda-beda tergantung dari komoditi yang dubudidayakannya. Hasil masing-masing pola budidaya hutan rakyat di Desa Sukorejo sebagai berikut;
1.    Tanaman kayu dengan tanaman kopi
- Hasil tanaman kayu        : Rp. 3.624.440,-/ha/th
- Hasil tanaman kopi        : Rp. 1.100.000/ha/th
Dalam luasan 1 ha budidaya hutan rakyat pola tanaman kayu ditumpangsarikan dengan tanaman kopi menghasilkan : Rp. 4.724.440,-/ha/th.
2.    Tanaman kayu dengan singkong
- Hasil tanaman kayu        : Rp. 3.624.440,-/ha/th
- Hasil tanaman singkong    : Rp.    900.000,-/ha/th
Dalam luasan 1 ha budidaya hutan rakyat pola tanaman kayu ditumpangsarikan dengan tanaman singkong menghasilkan : Rp. 4.524.440,-/ha/th.

3. Tanaman kayu dengan kapulaga
- Hasil tanaman kayu        : Rp. 3.624.440,-/ha/th
- Hasil tanaman kapulaga    : Rp. 3.200.000,-/ha/th
Dalam luasan 1 ha budidaya hutan rakyat pola tanaman kayu ditumpangsarikan dengan tanaman kapulaga menghasilkan : Rp. 6.824.440,-/ha/th.
4.Tanaman kayu, kopi dan kapulaga
- Hasil tanaman kayu        : Rp. 3.624.440,-/ha/th
- Hasil tanaman kapulaga    : Rp. 3.200.000,-/ha/th
- Hasil tanaman kopi        : Rp. 1.100.000/ha/th
Dalam luasan 1 ha budidaya hutan rakyat pola tanaman kayu ditumpangsarikan dengan tanaman kapulaga dan kopi menghasilkan : Rp. 7.924.440,- /ha/th.
Dari analisa sederhana terhadap pendapatan yang diperoleh dari budidaya hutan rakyat pada 4 pola tersebut nampak jelas bahwa pola tiga jenis tanaman yaitu tanaman kayu, kopi dan kapulaga memberikan kontribusi hasil yang paling besar yaitu Rp. 7.924.440,-/ha/th. Hasil yang besar ini lebih disebabkan oleh banyaknya komoditi yang dibudidayakan sehingga masing-masing komoditi memberikan kontribusi terhadap total hasil akhir pada suatu pola budidaya hutan rakyat.
Pola budidaya hutan rakyat jika dipisahkan berdasarkan jumlah komoditinya yaitu hanya 2 komoditi maka kontribusi pola tanaman kayu dengan kapulaga memberikan hasil terbesar yaitu Rp. 6.824.440,-/ha/th. Hasil yang besar ini diperoleh karena komoditi kapulaga dalam periode 1 tahun dapat dilakukan  kegiatan pemanenan beberapakali (8 kali panen per tahun). Komoditi tanaman kayu dan singkong memberikan hasil paling kecil setelah pola tanaman kayu dengan kopi, karena singkong disamping hanya panen 1 kali dalam setahun juga harga singkong sangat minim sekali.
Komoditi tanaman kayu dan kapulaga memberikan hasil lebih besar jika dibandingkan dengan komoditi tanaman kayu dengan kopi tetapi secara umum masyarakat ada kecenderungan lebih banyak memilih pola tanaman kayu dan kopi karena faktor kegiatan pemeliharaan yang mudah dilaksanakan, kepastian pasar dan aspek nilai konservasi terhadap penyerapan air.



VI. Kesimpulan
Hutan rakyat di Desa Sukorejo Kecamatan Mojotengah Kab. Wonosobo merupakan hutan rakyat swadaya yang telah dibudidayakan sejak lama. Pengetahuan dan pengalaman budidaya hutan rakyat yang sudah berjalan cukup lama memberikan dampak terhadap pola budidaya hutan rakyat yaitu munculnya keragaman jenis tanaman pengisi terhadap tanaman pokok yang didominasi oleh albasia. Variasi tanaman pengisi itu dapat dikelompokan menjadi 4 pola yaitu; 1). Pola tanaman kayu, kapulaga, 2) tanaman kayu kopi, 3) tanaman kayu singkong dan 4) tanaman kayu, kopi dan kapulaga.
Dari 4 pola itu kontribusi terbesar terhadap pendapatan petani diperoleh dari pola tanaman kayu, kopi dan kapulaga sebesar Rp. 7.924.440,-/ha/th dan terendah dari pola tanaman kayu singkong yang memberikan hasil sebesar Rp. 4.524.440,-/ha/th.


Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot